PENGELOLAAN sumber daya alam di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satunya tumpang tindih antara wilayah hutan adat dan Kawasan Hutan Negara, yang mencakup juga Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan.
Tumpang tindih ini sering kali menciptakan ketegangan, terutama di wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat.
Kasus-kasus di Kampung Yenggu Lama di Papua dan di Sumatera Barat, misalnya, menggambarkan bagaimana wilayah adat yang sudah dihuni turun-temurun oleh masyarakat adat tiba-tiba berada dalam pengelolaan yang diambil alih oleh pihak luar, seperti perusahaan perkebunan sawit atau taman nasional.
Hal ini sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat adat yang merasa hak mereka atas tanah dan hutan yang telah mereka kelola diabaikan.
Di Kampung Yenggu Lama, Papua, misalnya, Hutan Adat Yano Akrua yang telah dihuni masyarakat adat Yano Akrua selama berabad-abad kini tumpang tindih dengan kawasan yang dikelola berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan sawit.
Meskipun pemerintah setempat, melalui Surat Keputusan Bupati Jayapura pada tahun 2022, mengakui wilayah adat tersebut, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menetapkannya sebagai hutan adat pada tahun yang sama, masyarakat adat Yano Akrua tetap menghadapi tantangan besar.
Mereka berkomitmen untuk menjaga dan mengelola hutan adat mereka dengan konsep ekowisata berkelanjutan.
Komitmen ini patut didukung karena pengelolaan hutan oleh masyarakat adat terbukti lebih efektif dalam menjaga keberagaman hayati dan ekosistem secara stabil.
Penelitian dalam jurnal Current Biology menunjukkan bahwa tanah adat sering kali menjadi model konservasi yang lebih efektif dibandingkan kawasan lindung yang dikelola negara.
Pengetahuan dan praktik pengelolaan hutan yang diwariskan turun-temurun memungkinkan masyarakat adat menjaga alam dengan cara lebih ramah terhadap ekosistem dan keberagaman hayati.
Namun, kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat adat sering kali tidak sesuai harapan. Di Sumatera Barat, misalnya, wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat Nagari Lubuk Gadang tiba-tiba dimasukkan dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka atas tanah adat yang telah dikelola selama berabad-abad.
Penetapan kawasan tersebut tanpa melalui proses konsultasi yang memadai menyebabkan kebingungan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat adat setempat.
Tanah adat bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga memiliki nilai magis dan religius yang sangat kuat dalam kehidupan sosial dan budaya mereka.
Ketika tanah adat digusur atau dimasukkan dalam kawasan yang dikelola oleh pihak luar tanpa dialog terbuka, hal ini memperburuk hubungan antara masyarakat adat dan pemerintah serta memperdalam ketegangan sosial yang ada.
Isu tumpang tindih kawasan ini menjadi lebih rumit ketika politisi dan oknum tertentu memanfaatkannya untuk meraih keuntungan politik.
Mereka menyebarkan narasi kebencian terhadap kebijakan taman nasional dan perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Hal ini semakin memperburuk situasi karena pemerintah daerah sering kali menggunakan masalah ini sebagai alasan untuk menunda pembangunan, yang justru memperburuk ketegangan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, ketegangan ini malah semakin menumbuhkan kebencian terhadap kebijakan konservasi yang seharusnya bertujuan untuk pelestarian alam.
Dengan kondisi yang semakin kompleks, sudah saatnya pemerintah memberi perhatian lebih terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menghapuskan kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah hutan adat dan mencabut izin HGU yang diberikan di kawasan tersebut.
Langkah ini tidak hanya akan menghindari konflik lahan, tetapi juga menunjukkan penghormatan terhadap hak masyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah dan hutan yang mereka kelola secara berkelanjutan.
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat harus diwujudkan dalam bentuk regulasi jelas, yang tidak hanya mengatur konservasi alam, tetapi juga mengakui hak-hak atas tanah dan wilayah adat mereka.
Dengan regulasi yang tepat, konflik-konflik pertanahan antara masyarakat adat dan pihak luar, baik itu perusahaan maupun instansi pemerintah, dapat diminimalkan.
Lebih dari itu, pengakuan ini akan membawa manfaat besar bagi pelestarian alam dan keberagaman budaya Indonesia.
Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah mereka. Tanah bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga merupakan bagian dari identitas dan warisan budaya.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengakui hak-hak ini sebagai bagian dari hak asasi manusia. Tanpa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, penyelesaian yang adil dan berkelanjutan terhadap konflik pertanahan tidak akan terwujud.
Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil dapat tercapai hanya jika masyarakat adat diberi ruang untuk berperan aktif dalam pengelolaan wilayah mereka.
Jika masyarakat adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait wilayah mereka, kita dapat menghindari konflik-konflik yang merusak hubungan sosial dan memperburuk ketegangan antara masyarakat dan pemerintah.
Kebijakan inklusif, yang menghormati hak-hak masyarakat adat, akan menghasilkan pengelolaan hutan lebih efektif dan berkelanjutan, serta memperkuat kesejahteraan sosial dan keberagaman budaya di Indonesia.
Dengan regulasi tepat, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan kolaborasi yang erat antara pemerintah dan masyarakat adat, kita dapat mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang lebih adil dan berkelanjutan.
Jika pemerintah benar-benar menghormati dan mengakui hak-hak ini, kita akan melihat masa depan yang lebih harmonis antara pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat adat.
Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan akan memperkuat hubungan sosial antara masyarakat adat dan negara, serta menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya