KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya mencatat lebih banyak anak di dunia yang akan terdampak krisis iklim serta lingkungan ekstrem pada tahun 2050-an.
Misalnya saja, laporan mengungkap delapan kali lebih banyak anak di seluruh dunia akan terpapar gelombang panas ekstrem pada tahun 2050a-an.
Mengutip Guardian, Kamis (28/11/2024) peningkatan terbesar dalam jumlah anak-anak yang mengalami gelombang panas ekstrem diperkirakan terjadi di Asia timur dan selatan, Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika utara, barat, dan tengah.
Baca juga:
Selain itu juga ada tiga kali lebih banyak anak yang akan menghadapi banjir dibandingkan dengan tahun 2000-an. Banjir sungai diperkirakan akan memengaruhi anak-anak di area yang sama, serta Afrika timur dan Pasifik.
Laporan PBB juga menemukan hampir dua kali lebih banyak anak juga diperkirakan akan menghadapi kebakaran hutan dan hidup berdampingan dengan kekeringan serta siklon tropis.
“Anak-anak mengalami berbagai krisis, mulai dari guncangan iklim hingga bahaya daring, dan ini akan semakin parah di tahun-tahun mendatang,” kata Catherine Russell, direktur eksekutif Unicef.
“Keputusan yang dibuat oleh para pemimpin dunia saat ini mendefinisikan dunia yang akan diwarisi anak-anak," katanya lagi.
Laporan ini banyak menekankan dampak krisis iklim terhadap anak-anak, yang hampir setengahnya (sekitar 1 miliar) tinggal di negara-negara yang menghadapi risiko tinggi bencana lingkungan.
Bahkan sebelum mereka bernapas pertama kali, otak, paru-paru, dan sistem kekebalan tubuh anak-anak rentan terhadap polusi, penyakit, dan cuaca ekstrem.
Saat mereka tumbuh, pendidikan, gizi, keselamatan, keamanan, dan kesehatan mental mereka dibentuk oleh iklim dan lingkungan.
Krisis iklim membuat lebih banyak anak rentan terhadap penyakit. Meningkatnya suhu rata-rata telah menyebabkan peningkatan populasi nyamuk dan risiko yang lebih besar terhadap penyakit yang ditularkannya, seperti malaria, demam berdarah, Zika, dan virus West Nile.
Baca juga:
Cuaca ekstrem dapat menghentikan anak-anak mengonsumsi makanan sehat. Sedangkan tornado, badai, banjir, gelombang panas, dan gempa bumi telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk gangguan stres pascatrauma dan depresi.
Menurut laporan State of Global Air 2024, polusi udara sudah menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak di bawah usia lima tahun dan dikaitkan dengan 709.000 kematian pada anak-anak di bawah usia lima tahun pada tahun 2021.
Bank Dunia baru-baru ini juga menyebut dampak pendidikan dari krisis iklim sebagai "bom waktu ekonomi", karena guncangan iklim dapat berdampak besar pada pendidikan anak-anak, yang menyebabkan ketidakhadiran di sekolah dan memperlebar kesenjangan pembelajaran di seluruh dunia.
Sebagai informasi sejak tahun 2022, lebih dari 400 juta siswa di seluruh dunia telah mengalami penutupan sekolah karena cuaca ekstrem.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya