KOMPAS.com - Degradasi lahan meluas di seluruh dunia dengan laju mencapai 1 juta kilometer persegi setiap tahun.
Kondisi ini melemahkan berbagai upaya untuk menstabilkan iklim, melindungi alam, dan memastikan pasokan pangan berkelanjutan.
Temuan tersebut mengemuka dalam studi Potsdam Institute for Climate Impact Research berjudul Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries, yang dirilis baru-baru ini.
Baca juga: Sektor Swasta Perlu Terlibat Melawan Degradasi Lahan
Studi tersebut dirilis menjelang dimulainya konferensi para pihak ke-16 (COP16) United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, pada 2-13 Desember.
Laporan tersebut menyebutkan, area yang terdegradasi di seluruh dunia saat ini sudah seluas 15 juta km persegi.
Sekretaris Eksekutif UNCCD Ibrahim Thiaw mengatakan, lahan memiliki peran yang sangat penting bagi makhluk hidup.
"Jika kita gagal mengakui peran penting lahan dan mengambil tindakan yang tepat, konsekuensinya akan berdampak pada setiap aspek kehidupan dan berlanjut hingga masa depan, sehingga memperparah kesulitan bagi generasi mendatang," kata Thiaw, sebagaimana dilansir The Guardian, Minggu (1/12/2024).
Laporan itu mencatat hingga saat ini, ekosistem daratan menyerap hampir sepertiga dari polusi karbon dioksida yang disebabkan manusia, bahkan ketika emisi tersebut meningkat setengahnya.
Baca juga: Separuh Negara di Dunia Alami Degradasi Sistem Air Tawar
Namun selama 10 tahun terakhir, kapasitas pohon dan tanah untuk menyerap kelebihan karbon dioksida telah menyusut hingga 20 persen akibat penggundulan hutan dan perubahan iklim.
Menurut laporan tersebut, penyebab utamanya adalah praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, yang bertanggung jawab atas 80 persen hilangnya hutan.
Praktik pertanian tersebut meliputi penggunaan bahan kimia, pestisida, dan penggunaan air secara besar-besaran. Berbagai aktivitas tersebut mengikis tanah, mengurangi persediaan air, dan mencemari ekosistem.
Dalam jangka pendek, teknik tersebut memang lebih menguntungkan.
Akan tetapi, beberapa waktu kemudian, hasil panen akan menurun dan kualitas gizi panen menjadi lebih buruk. Dalam sejumlah kasus, hal ini mengakibatkan penggurunan dan badai debu.
Baca juga: Konferensi Melawan Penggurunan COP16: Tempat, Waktu, dan Agenda Utama
Di sisi lain, perubahan iklim yang terjadi turut memperparah degradasi lahan melalui kekeringan yang berkepanjangan dan banjir yang semakin parah.
Para penulis mengatakan, laporan tersebut menunjukkan pentingnya mengambil pendekatan terpadu terhadap masalah-masalah ini.
"Para pembuat kebijakan harus memperkuat fokus mereka pada lahan sebagai landasan keberlanjutan global," kata Claudia Hunecke dari Potsdam Institute for Climate Impact Research.
Dia menuturkan, degradasi lahan berisiko memperburuk tekanan sumber daya, kemiskinan, migrasi, dan konflik.
"Para pembuat kebijakan harus mengatasi dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari penggunaan lahan. Keterkaitan penggunaan lahan dengan sistem Bumi dan mata pencaharian manusia dapat bertindak sebagai pengungkit penting untuk mencapai tujuan keberlanjutan," jelasnya.
Baca juga: 500 Juta Orang Tinggal di Daerah Penggurunan, Kehidupan Terancam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya