KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mendorong perhutanan sosial masuk dalam skema perdagangan karbon.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Julmansyah mengatakan, perdagangan karbon bisa jadi skema pendanaan alternatif yang dapat dimanfaatkan masyarakat adat dan kelompok masyarakat pengelola hutan sosial.
"Kami sedang menyiapkan baseline karbon yang ada di NTB, baik dari perhutanan sosial maupun perusahaan," kata Julmansyah di Mataram, Senin (19/8/2024), sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: 2 Perusahaan Tambang Besar Investasi Dana Kredit Karbon Australia
Julmansyah mengungkapkan, perhutanan sosial di NTB mencapai 60.000 hektare dan memiliki potensi besar dalam bursa karbon.
Bahkan, ada lebih dari 15.000 hektare yang memiliki tutupan tinggi seperti hutan yang mampu menyerap karbon lebih baik.
"Lokasi perhutanan sosial berada hampir semuanya berada di sabuk hijau Gunung Rinjani, namun ada sedikit di Sumbawa Barat dan Sumbawa," ujar Julmansyah.
Dia menyampaikan, kondisi tutupan perhutanan sosial yang masih bagus memiliki ciri pohon kemiri yang di bawahnya ada durian, lalu di bawah durian ada alpukat, aren, dan kopi.
Baca juga: Tim Ekonomi Prabowo-Gibran dan KSP Siapkan Pembentukan Badan Karbon
Model perhutanan sosial dengan tutupan seperti itulah yang akan dipromosikan oleh Pemerintah Provinsi NTB sebagai lokasi perdagangan karbon maupun carbon offset.
Julmansyah mengungkapkan, ada banyak perusahaan yang sudah memohon dan meminta areal dalam bentuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) untuk masuk ke pasar karbon.
Beberapa perusahaan yang sudah mengajukan permohonan kini sedang berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Ke depan kami berharap pemerintah Indonesia mesti memiliki kedaulatan karbon, sehingga kita mesti mendahulukan atau memprioritaskan calon-calon pembeli yang berasal dari dalam negeri, bukan luar negeri," tutur Julmansyah.
Baca juga: Strategi Perusahaan Tambang Kurangi Emisi Karbon, Audit hingga Teknologi
KLHK telah menetapkan peta jalan perdagangan karbon sektor kehutanan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 tanggal 22 September 2023.
Menurut aturan tersebut, perdagangan karbon bisa dilaksanakan oleh pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial paling rendah klasifikasi silver.
Syarat itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau masyarakat hukum adat pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.
Masyarakat adat ataupun kelompok masyarakat yang mengelola perhutanan sosial tidak hanya mendapatkan manfaat ekonomi dari perdagangan karbon, tetapi juga manfaat ekologis dan sosial dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Baca juga: KLHK: Hutan Tanaman Industri Disiapkan sebagai Pengurang Emisi Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya