KOMPAS.com - Pengetahuan masyarakat adat dalam menjaga alam perlu dibawa dan diarusutamakan dalam mengatasi krisis yang melanda Bumi.
Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Johan Rockstrom mengatakan, pengetahuan masyarakat adat tersebut bila perlu diimplementasikan untuk pengelolaan planet.
Hal tersebut disampaikan ilmuwan penerima pengharaan Tyler Prize dalam salah satu sesi Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Convention to Combat Desertification (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (7/12/2024) secara virtual.
Baca juga: Restorasi Lahan Perlu Libatkan Masyarakat Adat Lebih Banyak
Menurut studi dan pengukuran sistem Bumi dalam Planetary Health Check, saat ini Bumi dalam kondisi bahaya karena enam dari sembilan batas planet telah terlewati.
Keenam batas yang terlewati tersebut adalah polusi, iklim, biosfer, penggunaan lahan, air tawar, dan biogeokimia.
Sedangkan tiga lainnya yakni ozon, muatan aerosol atmosfer, dan pengasaman air laut masih dalam batas aman namun menuju ke ambang batas.
Krisis yang dialami Bumi saat ini disebabkan berbagai aktivitas manusia modern saat ini yang telah melepaskan hubungan dengan alam.
Baca juga: Pentingnya Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan
"Kita membiarkan diri kita dalam ekonomi yang didorong oleh bahan bakar fosil, mengglobal, konsumsi berlebihan, berbasis pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) secara fundamental memutuskan hubungan ini dengan Bumi," kata Rockstrom.
Dia menuturkan, jika ingin Bumi stabil dan sehat, semuanya perlu dimulai dari lahan dan tanah.
Pasalnya, kesehatan tanah dan lahan sangat terkait dengan iklim, keanekaragaman hayati, air, polusi, bahan kimia, dan stabilitas sistem lahan itu sendiri.
Rockstrom bertutur, lahan adalah kunci kesehatan seluruh planet, sekaligus titipan bagi generasi masa depan.
"Lahan berfungsi sebagai fondasi keamanan di planet Bumi. Dan ini adalah sesuatu yang harus dipahami," tutur Rockstrom.
Baca juga: Investasi Eksplorasi SDA Harusnya Dapat Persetujuan Masyarakat Adat Lebih Dulu
Masyarakat adat menjadi penjaga alam dan lahan yang sebenarnya. Sebagai contoh, di Kongo, Afrika, dan Amazon, Amerika Selatan, 54 persen hutannya masih utuh karena berada di tangan masyarakat adat.
"Dan mereka adalah pilihan terakhir untuk membantu kita melindungi stabilitas sistem ini. Terhubung kembali hubungan dengan Bumi adalah kebutuhan mendesak yang mendasar. Budaya masyarakat adat adalah bantuan terbaik yang kita miliki di sini," ucap Rockstrom.
Rockstrom mendesak tindakan cepat untuk mengimplementasikan pengetahuan masyarakat adat dalam melakukan upaya restorasi dan pelindungan lahan.
Berdasarkan data PBB, ada lebih dari 476 juta jiwa masyarakat adat dan tersebar di 90 negara.
Baca juga: 14 Tahun Mangkrak, RUU Masyarakat Adat Didesak Segera Disahkan
Angka tersebut mewakili sekitar 5-6 persen dari populasi dunia. Meski segelintir, mereka menjadi penjaga hampir 80 persen keanekaragaman hayati global.
Tokoh masyarakat adat terkemuka, Hindou Oumarou Ibrahim, menuturkan, bagi masyarakat adat, tanah adalah akar dari semua kehidupan.
Tanah menjadi pijakan pohon-pohon sebagai tempat berlindung, menumbuhkan tanaman obat yang menyembuhkan, hingga menyuburkan rumput yang memberi makan ternak.
"Hari ini, kami di sini untuk menyampaikan pesan kepada dunia, yaitu bahwa kontribusi masyarakat adat dalam melindungi dan memulihkan tanah tidak dapat lagi diabaikan," ujar Ketua Forum Tetap PBB tentang Isu-isu Masyarakat Adat tersebut.
Baca juga: Masyarakat Adat Perlu Dilibatkan untuk Optimalkan Upaya Konservasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya