KOMPAS.com - Krisis iklim nyata terjadi di Indonesia. Kelangkaan sumber daya, gagal panen, degradasi lahan, dan sebagainya, membawa dampak kerentanan sosial-ekonomi, khususnya pada perempuan dan kelompok rentan di wilayah terdampak perubahan iklim.
Hal ini memicu kekerasan pada perempuan yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan dampak lainnya.
Posisi perempuan pun semakin sulit karena minimnya perlindungan dalam konteks krisis iklim.
Baca juga: WHO: Kasus Malaria Melonjak dalam 5 Tahun Terakhir akibat Krisis Iklim
Padahal, untuk mewujudkan transisi hijau yang adil dan inklusif, penting memastikan perempuan dan kelompok rentan tidak tertinggal.
Kemudian mengintegrasikan pendekatan berbasis keadilan gender dalam kebijakan dan program terkait perubahan iklim.
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan, tanah, sungai, laut, segala sumber daya di dalamnya adalah sumber kehidupan.
"Saat krisis melanda, resiliensi perempuan menjadi harapan bagi kelangsungan hidup dan kebangkitan dari krisis," ujar Veryanto dalam Diskusi Publik “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan", yang digelar Indonesia Women’s Rights Fund (IWRF) bentukan Yayasan Penabulu dan Uni Eropa melalui program CO-EVOLVE 2.
Veryanto menambahkan, pentingnya perhatian pada resiliensi perempuan dalam krisis iklim.
Baca juga: PBB Soroti Krisis Iklim dan Kemanusiaan di Afrika Tengah
Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Siti Mazumah mempertegasnya, bakwa krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan memiliki irisan yang erat.
Perempuan kerap kali jadi korban berulang karena krisis iklim yang terjadi, kesulitan dalam mencari sumber makanan, sumber air, polusi hingga berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan.
"Oleh karena itu, cross-cutting isu dan penanganan bersama agar perempuan tidak semakin berdampak, sangat penting," kata Siti.
Sementara itu, Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian menegaskan, kebijakan keadilan iklim justru harus mendapat porsi dan tempat utama dalam ruang publik.
Hal ini karena krisis Iklim merupakan persoalan struktural yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang terus mengakomodasi industri ekstraktif.
Dampak terbesar dari daya rusak industri ekstraktif dan krisis iklim tersebut dialami lebih berat oleh perempuan.
Baca juga: Keterlibatan Perempuan dalam Pengelolaan Lahan Mutlak Diperkuat
Padahal, di banyak tempat, justru perempuan menjadi aktor utama penjaga iklim, dengan melakukan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi.
Sudah saatnya negara melakukan koreksi terhadap kebijakan yang memperparah krisis iklim, dan segera menetapkan kebijakan yang berbasiskan keadilan iklim.
"Di mana pengakuan dan penghormatan terhadap peran, pengetahuan dan pengalaman Perempuan menjadi nilai utama," cetus Uli.
Adapun Lead of Civic Space Yayasan Penabulu Sugiarto Arif Santoso berpendapat bahwa krisis iklim yang semakin memburuk tidak hanya mengancam ekologi, tetapi juga memperburuk kondisi sosial dan meningkatkan angka kekerasan terhadap perempuan.
Diharapkan dapat tercipta kebijakan yang lebih inklusif, adil dan berkelanjutan, yang memberi ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam masa depan yang lebih hijau dan lebih berkeadilan.
"Karenanya, penting keadilan iklim untuk memberi perlindungan dan dukungan bagi perempuan yang mengalami kasus kekerasan," tuntas Sugiarto.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya