Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Kembangkan Metode Aman Daur Ulang Plastik Limbah Elektronik

Kompas.com, 29 Desember 2024, 10:17 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber RFI, knowesg

KOMPAS.com - Ilmuwan dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura mengembangkan cara untuk mendaur ulang plastik limbah elektronik dan menggunakannya kembali tanpa mengurangi kualitasnya.

Limbah elektronik (e-waste) merupakan salah satu sumber utama limbah plastik dan dapat menjadi sangat beracun jika tidak dibuang dengan benar.

Bahan penghambat api bromin (BFR) adalah kontaminan yang ditambahkan ke plastik agar tahan api. Dan ketika plastik limbah elektronik dibuang atau didaur ulang, bahan kimia tersebut dapat bocor ke lingkungan sehingga menyebabkan polusi.

Baca juga:

Untuk mengatasi masalah ini, tim ilmuwan NTU, yang dipimpin oleh Assoc. Prof. Lee Jong-Min, telah mengembangkan metode baru daur ulang plastik limbah elektronik yang lebih aman.

Mengutip Know ESG, Sabtu (28/12/2024) para ilmuwan ini berfokus pada plastik umum yang digunakan dalam barang elektronik, seperti keyboard dan casing laptop, yang disebut akrilonitril butadiena stirena (ABS).

Metode yang mereka gunakan terdiri dari dua pelarut, yaitu 1-propanol dan heptana.

Pelarut ini membantu melarutkan dan menghilangkan BFR yang berbahaya secara hati-hati dan selektif dari plastik tanpa merusaknya.

Setelah bahan kimia beracun dihilangkan, plastik ini dapat digunakan kembali dalam bentuk aslinya.

Menurut para ilmuwan, metode mereka dapat memulihkan lebih dari 80 persen plastik dan menggunakannya kembali.

Kualitasnya tetap sama, artinya masih dapat digunakan dalam produk baru.

Ini adalah salah satu cara yang efisien untuk mendaur ulang plastik limbah elektronik tanpa merusak lingkungan.

Peningkatan E-Waste

Dalam studi terpisah, peneliti dari Reichman University, Israel memperingatkan penggunaan kecerdasan buatan (AI) telah memicu peningkatan besar sampah elektronik yang memperburuk krisis sampah beracun global.

Pertumbuhan eksplosif AI ini diperkirakan akan menambah hingga lima juta ton sampah elektronik per tahun pada 2030.

Baca juga:

Peningkatan sampah elektronik ini disebabkan oleh perluasan pesat aplikasi AI dan pusat data, yang menuntut peningkatan perangkat keras komputasi berkinerja tinggi secara berkala.

Siklus hidup yang pendek untuk prosesor dan peralatan penyimpanan canggih berarti perangkat bakal sering diganti untuk memenuhi permintaan yang meningkat.

Ini mengakibatkan lonjakan barang elektronik yang dibuang.

Jika tidak ditangani, peneliti memperingatkan bahwa sampah elektronik dapat meningkat, yang selanjutnya berkontribusi terhadap polusi lingkungan di seluruh dunia.

"Memperpanjang masa pakai teknologi dengan menggunakan peralatan lebih lama adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi limbah elektronik," kata Asaf Tzachor, salah satu penulis studi dari Reichman University, Israel.

“Memperbarui dan menggunakan kembali komponen juga dapat memainkan peran penting, seperti halnya merancang perangkat keras dengan cara yang membuatnya lebih mudah untuk didaur ulang dan ditingkatkan,” tambahnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau