KOMPAS.com - Ilmuwan dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura mengembangkan cara untuk mendaur ulang plastik limbah elektronik dan menggunakannya kembali tanpa mengurangi kualitasnya.
Limbah elektronik (e-waste) merupakan salah satu sumber utama limbah plastik dan dapat menjadi sangat beracun jika tidak dibuang dengan benar.
Bahan penghambat api bromin (BFR) adalah kontaminan yang ditambahkan ke plastik agar tahan api. Dan ketika plastik limbah elektronik dibuang atau didaur ulang, bahan kimia tersebut dapat bocor ke lingkungan sehingga menyebabkan polusi.
Baca juga:
Untuk mengatasi masalah ini, tim ilmuwan NTU, yang dipimpin oleh Assoc. Prof. Lee Jong-Min, telah mengembangkan metode baru daur ulang plastik limbah elektronik yang lebih aman.
Mengutip Know ESG, Sabtu (28/12/2024) para ilmuwan ini berfokus pada plastik umum yang digunakan dalam barang elektronik, seperti keyboard dan casing laptop, yang disebut akrilonitril butadiena stirena (ABS).
Metode yang mereka gunakan terdiri dari dua pelarut, yaitu 1-propanol dan heptana.
Pelarut ini membantu melarutkan dan menghilangkan BFR yang berbahaya secara hati-hati dan selektif dari plastik tanpa merusaknya.
Setelah bahan kimia beracun dihilangkan, plastik ini dapat digunakan kembali dalam bentuk aslinya.
Menurut para ilmuwan, metode mereka dapat memulihkan lebih dari 80 persen plastik dan menggunakannya kembali.
Kualitasnya tetap sama, artinya masih dapat digunakan dalam produk baru.
Ini adalah salah satu cara yang efisien untuk mendaur ulang plastik limbah elektronik tanpa merusak lingkungan.
Dalam studi terpisah, peneliti dari Reichman University, Israel memperingatkan penggunaan kecerdasan buatan (AI) telah memicu peningkatan besar sampah elektronik yang memperburuk krisis sampah beracun global.
Pertumbuhan eksplosif AI ini diperkirakan akan menambah hingga lima juta ton sampah elektronik per tahun pada 2030.
Baca juga:
Peningkatan sampah elektronik ini disebabkan oleh perluasan pesat aplikasi AI dan pusat data, yang menuntut peningkatan perangkat keras komputasi berkinerja tinggi secara berkala.
Siklus hidup yang pendek untuk prosesor dan peralatan penyimpanan canggih berarti perangkat bakal sering diganti untuk memenuhi permintaan yang meningkat.
Ini mengakibatkan lonjakan barang elektronik yang dibuang.
Jika tidak ditangani, peneliti memperingatkan bahwa sampah elektronik dapat meningkat, yang selanjutnya berkontribusi terhadap polusi lingkungan di seluruh dunia.
"Memperpanjang masa pakai teknologi dengan menggunakan peralatan lebih lama adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi limbah elektronik," kata Asaf Tzachor, salah satu penulis studi dari Reichman University, Israel.
“Memperbarui dan menggunakan kembali komponen juga dapat memainkan peran penting, seperti halnya merancang perangkat keras dengan cara yang membuatnya lebih mudah untuk didaur ulang dan ditingkatkan,” tambahnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya