Lebih lanjut, analisis baru ini berdasarkan pada hasil kerja Mei tahun lalu di mana peneliti menemukan bahwa 13 dari 15 pelabuhan minyak dengan lalu lintas kapal tanker minyak terbesar rentan terhadap kenaikan muka air laut.
Baca juga: Investasi Energi Bersih Global Lebih Tinggi dari Bahan Bakar Fosil
Peta kenaikan muka air laut dari Climate Central dan Google Maps digunakan untuk menunjukkan bahwa kenaikan setinggi 1 meter akan merusak dermaga, fasilitas penyimpanan minyak, kilang minyak, dan infrastruktur lainnya.
Tim juga menggunakan data ekspor minyak Bloomberg untuk memperkirakan volume dan nilai minyak yang diimpor dan diekspor dari pelabuhan tersebut.
Pelabuhan Ras Tanura dan Yanbu tercatat mengekspor minyak senilai 214 miliar dollar AS pada tahun 2023.
Sementara, secara total 13 pelabuhan tersebut menyumbang sekitar 20 persen dari ekspor minyak global pada tahun 2023.
“Analisis ini menunjukkan bahwa mengandalkan bahan bakar fosil di dunia yang memanas adalah jalan menuju bencana, bukan keamanan energi," papar Murray Worthy, dari Zero Carbon Analytics.
Upaya untuk menanggulangi permasalahan bisa saja dilakukan dengan membangun tanggul.
Namun, Worthy memperingatkan bahwa itu pada akhirnya adalah usaha yang sia-sia. Selain memerlukan biaya yang sangat mahal, itu juga harus dilakukan terus menerus.
"Anda harus terus membangun tembok laut lebih tinggi dari waktu ke waktu," katanya.
Baca juga: Kelapa Sawit Kontroversial dan Politis, Bagaimana AI Menarasikannya?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya