Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rugikan Nelayan, KKP Didesak Bongkar Pagar Laut Ilegal di Banten

Kompas.com, 15 Januari 2025, 19:37 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman RI mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membongkar pagar laut ilegal yang dipasang sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang, Banten.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, hal itu harus dilakukan lantaran pagar laut ilegal merugikan ribuan nelayan sekitar.

Ombudsman pun telah menyidak lokasi pemagaran bersama KKP, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Provinsi Banten untuk meminta keterangan secara langsung.

Baca juga: Suhu Laut Capai Rekor Tertinggi pada 2024

"Dari keterangan pihak KKP bahwa sudah jelas ini (pagar laut) tidak berizin. Sehingga sudah disegel," kata Yeka dalam keterangan tertulis, Rabu (15/1/2025).

"Ombudsman mendesak KKP untuk segera melakukan pembongkaran pagar tersebut karena merugikan nelayan," imbuh dia.

Yeka menyampaikan, kerugian nelayan selama lima bulan terakhir mencapai sekitar Rp 9 miliar akibat pagar laut ilegal. Menurut dia, pagar itu telah ada sejak Agustus 2024 lalu.

"Semestinya tidak perlu menunggu 20 hari untuk pembongkaran. Namun memang perlu persiapan sumber daya untuk melakukan pembongkaran ini," tutur dia.

Kini, Ombudsman perwakilan Provinsi Banten tengah menginvestigasi kasus pemagaran laut. Yeka tak menutup kemungkinan, bila nantinya Ombudsman akan memeriksa keterangan lain dari pihak terkait.

Baca juga: Panas Ekstrem Kurangi Kemampuan Laut Serap CO2

Bantah Proyek Strategis Nasional

Dalam kesempatan itu, Yeka membantah bahwa pagar laut di Tangerang merupakan bagian Proyek Strategis Nasional (PSN).

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup, hingga kini belum ada analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) terkait pemanfaatan ruang laut ini. Kementerian ATR/BPN pun menyatakan, belum ada dokumen kepemilikan pagar laut sehingga masih dalam penguasaan negara.

"Kalau ilegal otomatis ada potensi pidana. Sehingga dalam ini perlu peran aparat penegak hukum. Ombudsman lebih menyoroti persoalan pelayanan publik yang terganggu," tutur Yeka.

Ia meminta, agar persoalan pagar laut di wilayah Banten bisa selesai dan nelayan dapat beraktifitas seperti sedia kala.

Baca juga: Hampir Semua Es Laut Arktik Diperkirakan Bisa Mencair pada Musim Panas 2027

Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten Fadli Afriadi menilai harus ada tindakan tegas karena pembangunan pagar merugikan nelayan, petambak, dan masyarakat sekitar di sekitar pesisir laut.

"Selain untuk mencegah kerugian masyarakat yang lebih banyak, juga diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa negara hadir untuk menjaga dan melayani masyarakatnya," kata Fadli.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BJA Group Tanam 20 Juta Pohon Gamal, Transisi Energi lewat Biomassa Berkelanjutan
BJA Group Tanam 20 Juta Pohon Gamal, Transisi Energi lewat Biomassa Berkelanjutan
Swasta
Ahli Sebut Pemotongan Dana Ancam Kesehatan Reproduksi Global
Ahli Sebut Pemotongan Dana Ancam Kesehatan Reproduksi Global
LSM/Figur
Jerman Kucurkan 1,15 Miliar Dollar AS untuk Dana Tropical Forest Forever Facility
Jerman Kucurkan 1,15 Miliar Dollar AS untuk Dana Tropical Forest Forever Facility
Pemerintah
Harga Kredit Karbon Melesat Tinggi Akibat Laju Emisi Teknologi
Harga Kredit Karbon Melesat Tinggi Akibat Laju Emisi Teknologi
Swasta
Harga Vaksin Malaria Turun, Selamatkan 7 Juta Anak Tambahan hingga 2030
Harga Vaksin Malaria Turun, Selamatkan 7 Juta Anak Tambahan hingga 2030
Pemerintah
Belantara Foundation: Mangrove Jadi Penyangga Kehidupan dan Atasi Krisis Iklim
Belantara Foundation: Mangrove Jadi Penyangga Kehidupan dan Atasi Krisis Iklim
Pemerintah
BRIN Ungkap Sulitnya Temukan Rafflesia karena Tumbuh di Wilayah Terpencil
BRIN Ungkap Sulitnya Temukan Rafflesia karena Tumbuh di Wilayah Terpencil
Pemerintah
Rambah Taman Nasional Kutai, Pemuda di Kaltim Terancam 10 Tahun Penjara
Rambah Taman Nasional Kutai, Pemuda di Kaltim Terancam 10 Tahun Penjara
Pemerintah
Greenpeace Kritisi COP30 yang Tak Berkomitmen Kuat Hentikan Energi Fosil
Greenpeace Kritisi COP30 yang Tak Berkomitmen Kuat Hentikan Energi Fosil
LSM/Figur
Peneliti BRIN Temukan Spesies Rafflesia hasseltii di Sumatera Barat
Peneliti BRIN Temukan Spesies Rafflesia hasseltii di Sumatera Barat
Pemerintah
Studi: Sejumlah Kecil Plastik Mematikan Bagi Hewan Laut
Studi: Sejumlah Kecil Plastik Mematikan Bagi Hewan Laut
Pemerintah
Seni Tani, Gerakan Anak Muda di Bandung Sulap Lahan Kosong Jadi Cuan
Seni Tani, Gerakan Anak Muda di Bandung Sulap Lahan Kosong Jadi Cuan
Swasta
Google Luncurkan Alat untuk Bantu Manufaktur Lebih Hemat Energi
Google Luncurkan Alat untuk Bantu Manufaktur Lebih Hemat Energi
Pemerintah
Sampah Jadi Energi, Namun Tata Kelola Masih Berantakan
Sampah Jadi Energi, Namun Tata Kelola Masih Berantakan
Pemerintah
Perguruan Tinggi RI Masih Terlalu Akademik, Model Pendidikan Apa yang Cocok di Tengah Ketidakpastian Global?
Perguruan Tinggi RI Masih Terlalu Akademik, Model Pendidikan Apa yang Cocok di Tengah Ketidakpastian Global?
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau