KOMPAS.com - Cuaca ekstrem ternyata dapat memengaruhi kualitas dan stabilitas air tanah. Temuan tersebut berdasarkan analisis air tanah jangka panjang dengan menggunakan metode analisis baru.
Berhubung miliaran orang bergantung pada air tanah yang cukup dan bersih untuk minum, memahami dampak iklim yang ekstrem terhadap keamanan air di masa mendatang menjadi sangat penting.
Mengutip Phys, Selasa (20/1/2025) formasi batuan yang mengandung air tanah, disebut akuifer, umumnya diisi ulang melalui presipitasi alias curah hujan yang merembes melalui tanah.
Selama proses tersebut, zat-zat yang diambil di permukaan di keluarkan dari air melalui penyerapan ke mineral tanah atau dimetabolisme oleh mikroorganisme tanah.
Baca juga:
Kementerian ESDM Permudah Izin Pengelolaan Air Tanah Berkelanjutan
Proses penyaringan alami tersebut kemudian menghasilkan sumber daya air tanah yang sangat murni.
Akan tetapi, curah hujan terkadang dapat dengan cepat mengalir ke lapisan tanah yang lebih dalam sehingga tidak terjadi pemurnian dan justru mengangkut sejumlah besar zat terlarut dari permukaan serta lapisan tanah atas ke akuifer air tanah.
Itu terjadi setelah curah hujan ekstrem dan periode kekeringan.
Kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan retakan besar di tanah dan juga mengurangi penyerapan air hujan di lapisan tanah atas.
Dalam kondisi seperti itu, air mengalir langsung ke air tanah, sungai, danau, dan laut.
Akibatnya, air tanah kemudian tidak terisi kembali secara memadai, tetapi juga terkontaminasi dengan zat-zat yang tidak diinginkan dan berpotensi berbahaya dari permukaan dan lapisan tanah atas.
Zat-zat ini dapat mencakup, misalnya, bahan organik, herbisida dan pestisida, produk mikroba seperti antibiotik, serta polutan lainnya.
Kesimpulan tersebut merupakan hasil studi peneliti dari Institut Biogeokimia Max Planck yang melakukan analisis air tanah jangka panjang di Jerman.
Baca juga: Kekeringan Berdurasi Panjang Makin Umum Terjadi di Seluruh Dunia
Dan selama 8 tahun analisis, para ilmuwan menemukan tren jangka panjang yang konsisten yakni meningkatnya jumlah zat organik yang berasal dari permukaan yang terakumulasi di air tanah, serta menurunnya permukaan air tanah.
Selain itu, mereka dapat dengan jelas menghubungkan peningkatan kontaminasi air tanah tersebut dengan peristiwa cuaca ekstrem, khususnya dengan kekeringan pada tahun 2018.
"Hasil kami menunjukkan bahwa peristiwa cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim telah mengubah kualitas air tanah dan dinamika pengisiannya kembali," kata Simon A. Schroeter, salah satu peneliti studi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya