KOMPAS.com - Berbagai kebijakan yang diambil Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam melemahkan agenda iklim, tak akan melemahkan transisi energi global.
Sejak dilantik menjadi Presiden AS, Trump mematahkan berbagai kebijakan iklim di era presiden sebelumnya, Joe Biden.
Yang paling kentara adalah Trump menarik AS dari Perjanjian Paris. Ini merupakan kali kedua Trump menarik Washington keluar dari Perjanjian Paris saat menjabat sebagai presiden.
Baca juga: Transisi Energi: 3 Rekomendasi untuk Hilirisasi Nikel Berkelanjutan
Selain itu, Trump juga berjanji untuk terus menggenjot energi fosil dengan kebijakan "drill, baby drill" sekaligus mengesampingkan subsidi energi bersih.
Trump juga menghentikan bantuan iklim senilai lebih dari 11 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Berbagai kebijakan tersebut membuat pengkampanye energi terbarukan dan iklim dari berbagai belahan dunia khawatir.
Namun, analisis mengenai environmental, social, and governance (ESG) Citigroup yang dipimpin oleh Anita McBain mengungkapkan, transisi energi global akan lanjut terus.
Citigroup menyampaikan, transisi energi saat ini lebih mutakhir bila dibandingkan masa kepemimpinan Trump yang pertama.
Baca juga: Transisi Energi Masih Lambat, Pengamat: RI Masih Ketergantungan Batu Bara
Di samping itu, energi terbarukan menawarkan daya listrik yang murah dan aman.
"Energi bersih lebih murah, lebih banyak tersedia, dan lebih efisien. Bagi para pendukung transisi energi bersih, kekuatan ekonomi akan menang," tulis analisis Citigroup, sebagaimana dilansir Fortune, Selasa (28/1/2025).
Sejumlah pihak yang mencoba menghasilkan pembiayaan untuk proyek energi bersih di luar AS memperkirakan, kebijakan-kebijakan Trump tidak akan mengubah aliran modal secara signifikan.
Christian Kleboth dari European Bank for Reconstruction and Development menuturkan, masih ada permintaan yang cukup besar untuk pembiayaan energi bersih di Eropa, Asia Tengah, dan kawasan Mediterania.
Kleboth menuturkan, banyak negara masih sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil dan mereka sangat menyadari ketergantungan itu.
Baca juga: Bukan Tambang, Perguruan Tinggi Diminta Fokus Usaha Transisi Energi
"Itulah sebabnya mereka sangat ingin berinvestasi dalam energi terbarukan. Tidak hanya untuk keamanan energi tetapi juga untuk daya saing harga," tutur Kleboth dalam sebuah wawancara.
Kleboth menambahkan, sektor swasta di banyak negara sangat banyak berinvestasi dalam energi terbarukan.
"Dan saya tidak melihat adanya perubahan. Jika ada, mungkin akan meningkat," ujar Kleboth.
Analis Citigroup juga menyinggung banyaknya bank dari Wall Street yang keluar dari aliansi pembiayaan iklim terbesar di dunia untuk bank, Net-Zero Banking Alliance (NZBA).
Baca juga: Jelang 100 Hari Prabowo-Gibran, Janji Transisi Energi Didesak Diwujudkan
Menurut para analis, eksodus bank-bank dari NZBA, termasuk keputusan Citigroup sendiri untuk keluar, tidak menghalangi kemajuan atau melemahkan upaya untuk mengubah ekonomi dari aset karbon tinggi.
Sejak awal Desember, ada banyak bank yang telah meninggalkan NZBA termasuk Goldman Sachs Group Inc, Morgan Stanley, Wells Fargo & Co, Bank of America Corp, dan JPMorgan Chase & Co.
Banyak bank besar di Kanada juga turut mengikuti langkah tersebut.
Bank-bank yang telah keluar dari NZBA mengatakan, keputusan tersebut tidak akan memengaruhi komitmen mereka untuk mendekarbonisasi bisnis dan mendukung klien dalam transisi mereka ke sumber energi yang lebih bersih.
Baca juga: Bandara Heathrow SIapkan 86 Juta Poundsterling untuk Transisi ke Avtur Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya