Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Menyoal Pencabutan 18 PBPH oleh Menhut, Prestasikah?

Kompas.com - 06/02/2025, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENCABUTAN Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari 18 perusahaan yang mengelola 526.144 hektare lahan hutan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, bagi saya sebagai pengamat kehutanan bukan hal mengejukan.

Apalagi, menurut Raja Juli, sebanyak 18 perusahaan tersebut telah mengantongi izin PBPH sejak 1997, 1998, 2006, dan 2010, tetapi tidak mengelola hutan dengan optimal.

Sayangnya, Menhut tidak menjelaskan lebih lanjut 18 perusahaan yang dimaksud tersebut masuk golongan PBPH yang mana?

Sebelum terbitnya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan mengacu pada UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

Baca juga: Menhut Sebut Bakal Cabut Izin Pemanfaatan Hutan 18 Perusahaan

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung serta dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu.

Faktanya, pada tahun 2000-an (1997-2010), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA/HPH, Hak Pengusahaan Hutan) dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT/HTI, hutan Tanaman Industri) jumlahnya menjamur pada saat itu.

Untuk memahami konstelasi perizinan kawasan hutan, khususnya IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT pasca-Reformasi setelah terbitnya UU No 41/1999, saya mencoba untuk menggambarkan secara utuh kondisi perizinan berusaha di bidang kehutanan tersebut sampai hari ini, berikut permasalahan yang dihadapinya.

Pengelolaan berupa pemanfaatan hutan produksi di Indonesia, khususnya hutan alam tropika basah telah mengalami masa-masa kelam dan berlangsung lebih dari tiga dekade lamanya.

Hanya berlandaskan pada UU No 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan PP No 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) serta hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang sederhana, ekosistem hutan alam Indonesia yang telah mencapai puncak keseimbangan ekologis, dibuka untuk dieksploitasi hasil hutannya (kayu) hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomis dengan mengabaikan aspek sosial, apalagi aspek ekologisnya.

Hutan alam khususnya hutan produksi dianggap sebagai aset ekonomi yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma dan dapat dimanfaatkan secara cepat untuk mendapatkan nilai ekonomi guna mendulang pundi-pundi devisa negara yang sangat diperlukan dalam era awal pembangunan Indonesia.

Hutan alam Dipterocarpaceae (meranti sp), anugerah Tuhan yang luar biasa, membentang luas di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi. Bonanza kayu oleh rezim Orde Baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan, dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan).

Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan), baik asing maupun domestik terus bertambah.

Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.

Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun (setara dengan nilai Rp 144 triliun dengan kurs Rp 16.000/dollar AS) terhadap pendapatan nasional.

Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali ini antara lain adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.

Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena lemahnya pengawasan aparat kehutanan setempat.

Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.

Dengan telah bergantinya rezim dari Orde Baru ke rezim Reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, masa kejayaan HPH yang berubah namanya menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) pascaterbitnya UU No 41/1999, juga ikut terkena imbas.

Tahun 2019, HPH yang tersisa tinggal 255 unit dengan luas konsesi 18,7 juta hektare. Sebanyak 345 unit HPH lainnya telah habis kontrak (masa kontrak 35 tahun) atau diputus kontrak oleh pemerintah di tengah jalan karena telah melanggar ketentuan yang ada.

IUPHHK-HT /HTI

Ekstraksi hutan secara masif yang semula difokuskan untuk menjadi penghasil devisa negara telah menyisakan kerusakan hutan alam di Indonesia.

Menurut FAO (1990), laju deforestasi dalam periode 1970-1975 dan 1981-1985 berkisar antara 550.000-600.000 hektare setiap tahun.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau