JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai pengesahan Revisi Undang-Undang atau RUU TNI, akan menjadi ancaman bagi masyarakat adat.
Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, berpendapat bahwa tidak ada urgensi bagi kepentingan rakyat terkait disahkannya UU tersebut, termasuk untuk masyarakat adat.
“Ini berbahaya, nasyarakat adat akan hidup dalam ancaman ketika mempertahankan hak-haknya, karena akan ditangani dengan gaya militeristik,” ujar Arman dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/3/2025).
Baca juga: Mandek 15 Tahun, Bahas Segera RUU Kehutanan demi Hak Masyarakat Adat
Karena itu, Arman menyerukan kepada semua pihak untuk menolak UU TNI.
"Saatnya bersama-sama menyatakan sikap menolak pengesahan Undang-Undang TNI," imbuh dia.
Berdasarkan catatan AMAN, terdapat sejumlah tindakan militer yang dianggap represif terhadap masyarakat adat.
Pada 2020, PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dibantu 300 anggota TNI menggusur wilayah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di Kampung Durian Selemak, Sumatera Utara.
Arman menyatakan konflik tersebut menyebabkan anak-anak, perempuan, hingga orang tua mengalami kekerasan.
Kemudian, TNI AL merampas wilayah adat masyarakat adat Marafenfen dengan membangun pangkalan udara. Pada kasus ini, majelis hakim menolak gugatan masyarakat adat atas lahan seluas 689 hektare.
Melihat kondisi itu, kata Arman, sudah dapat dipastikan nasib masyarakat adat akan makin sulit.
“Tolak Undang-Undang TNI. Sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat,” ucap dia.
Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong RUU Kehutanan Berpihak Perlindungan Rimba dan Masyarakat Adat
Diberitakan sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Perubahan yang paling menjadi sorotan adalah perubahan Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di kementerian/lembaga sipil.
Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, terdapat pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun, dalam UU TNI baru, poin itu diubah sehingga TNI akfif dapat menjabat di 14 kementerian/lembaga.
Pasal 53 Ayat (3) UU TNI baru mencatat batas usia pensiun bintara dan tamtama paling tinggi 55 tahun; perwira sampai dengan pangkat kolonel adalah 58 tahun.
Baca juga: Perlindungan Masih Minim, RUU Masyarakat Adat Harus Disahkan pada 2025
Kemudian, perwira tinggi bintang 1 adalah 60 tahun; perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan perwira tinggi bintang 3 adalah 62 tahun.
Sementara itu, ada penambahan poin dalam UU TNI baru di Pasal 7 Ayat (15) dan (16) terkait tugas pokok TNI.
Pasal 7 Ayat (15) menambahkan tugas soal membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber.
Ayat selanjutnya, terkait tugas membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya