Sebagai ilustrasi, kawasan hutan yang memiliki nilai biomasa 204,10 ton jika dikonversi menjadi perkebunan, maka hanya akan menyisakan biomasa 161,23 ton.
Sehingga terjadi pengurangan biomasa sebesar 42,87 ton/ha. Jika dikonversi ke carbon 42,87 x 0,47 = 20,15 yang akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 73.95 ton Co2/ha.
Baca juga: Mengapa Food Estate Sebelumnya Gagal? Mentan Amran Beri Jawabannya
Tentu saja kebijakan pangan dan energi tidak akan mengubah 20,6 juta ha hutan. Namun, sebagai ilustrasi, jika 20,6 juta ha diubah menjadi perkebunan, maka akan ada emisi sebesar 1.479 mega ton CO2 equivalent.
Belum lagi dengan nilai hutan alam tropis di kisaran 3.000 – 15.000 dollar AS per ha per tahun, maka dengan mengonversi 20,6 juta ha hutan artinya Indonesia harus siap kehilangan 60 miliar dollar AS per ha per tahun. Ini belum termasuk risiko kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati yang sepenuhnya tidak bisa dipulihkan.
Salah satu langkah konkret yang sudah sejak lama disuarakan berbagai pihak, yaitu mengevaluasi kebijakan serupa yang sudah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah seperti food estate.
Proyek food estate lahan gambut 1 juta ha di Kalimantan Tengah, misalnya, apakah sudah membuahkan hasil? Lalu bagaimana dengan proyek pengembangan food estate di Papua seluas 1,2 juta ha, serta food estate di Sumatera Utara apakah ada yang berhasil?
Sementara di sisi lain, ada beberapa program yang seharusnya lebih diperhatikan Indonesia demi meningkatkan produktivitas pangan.
Badan Pusat Statistik mencatat luas panen padi pada 2024 diperkirakan sekitar 64.190 ha, atau bertambah 5.580 ha (9,52 persen) dibandingkan luas panen padi di 2023.
Badan Pangan Nasional bahkan memperkirakan produksi beras nasional sepanjang tahun tersebut sebanyak 31,93 juta ton ditambah kuota impor sebanyak 433.000 ton.
Angkanya bisa semakin bertambah jika program perluasan lahan sebanyak 1,3 juta ha dari Kementerian Pekerjaan Umum bisa direalisasikan.
Melihat statistik di atas, maka seharusnya kebutuhan pangan di Indonesia dapat dipenuhi melalui intensifikasi dengan memperbaiki sistem irigasi dan tata niaga pupuk. Sehingga jumlah panen petani bisa meningkat dari 7 ton menjadi 10 ton gabah kering per ha.
Dari sisi pemenuhan energi, Indonesia memiliki potensi besar energi di luar biomasa yang belum tereksplorasi dan tereksploitasi.
Laporan Internasional Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan Indonesia memiliki potensi 3.000 GW energi dari solar panel, 75 GW dari tenaga air, 61 GW dari energi angin, dan dari geothermal sebesar 28,5 GW.
Berdasarkan data tahun 2020, dari 70 GW instalasi listrik terpasang di seluruh Indonesia, hanya 12 persen menggunakan energi terbarukan, sisanya didominasi oleh energi berbasis fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Baca juga: Kemenhut: Deforestasi Indonesia Meningkat pada 2024
Dibandingkan mengejar penyediaan energi dengan biomasa dan biofuel yang membutuhkan pembukaan kawasan hutan, seharusnya Indonesia bisa memaksimalkan potensi energi baru dan terbarukan lain yang tersedia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya