Dengan teknologi geospasial, seperti penginderaan jauh, citra satelit resolusi tinggi, dan sistem informasi geografis (SIG), perubahan penggunaan lahan dapat dideteksi secara berkala.
Hal ini memungkinkan deteksi dini terhadap praktik alih fungsi ilegal dan membantu penyusunan laporan rutin untuk pengambil kebijakan.
Selain itu, informasi geospasial juga menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang, di mana termasuk didalamnya untuk mendukung pemetaan zona perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dan penyesuaian rencana pembangunan agar tidak mengganggu keberadaan sawah produktif.
LP2B adalah lahan sawah yang tidak dapat dikonversi kedalam bentuk penggunaan lahan apapun lainnya dan dalam waktu selamanya.
Dengan demikian, informasi geospasial dapat digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan berbasis data, terutama untuk menentukan prioritas wilayah yang rawan alih fungsi dan merumuskan kebijakan insentif atau disinsentif terhadap alih fungsi lahan.
Informasi geospasial juga dapat diwujudkan dalam bentuk informasi partisipatif dan interaktif kepada masyarakat melalui geoportal, sehingga publik dapat mengakses informasi status lahan sawah di wilayahnya serta turut serta mengawasi potensi alih fungsi yang tidak sesuai ketentuan.
Peta interaktif yang bisa diakses masyarakat dapat diintegrasikan dalam kebijakan satu peta (one map policy), sebagai bagian penting dan komitmen pemerintah dalam keterbukaan akses publik.
Kedepan one map policy perlu terus didorong lebih baik dan lebih detail, termasuk di antaranya menambahkan informasi peta lahan sawah dilindungi dan peta pertanian dan pangan berkelanjutan dalam geoportal kebijakan satu peta.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya