DUNIA sedang disapu "Donald Trump Effect". Kini urusan domestik adalah "tuan" yang mengarahkan haluan politik dan kepentingan nasional suatu negara.
Sudah lama begitu, tapi setelah Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat kali kedua, dosis orientasi ke dalam negeri menguat--melampaui batas-batas yang dapat diduga. Begitu juga dalam ketahanan energi atau di lain tempat disebut kedaulatan energi.
Soko guru ketahanan energi AS kembali ke energi fosil yang kotor. Minyak, gas dan batu bara bakal menjadi penopang bagi negeri yang belok arah ke konservatisme gigi empat itu.
Haluan ini pula yang membuat Trump ringan tangan keluar dari Perjanjian Paris 2015. Ini talak kedua Trump setelah langkah serupa di periode pertama kepresidenannya.
Dan kini, AS tak berkepentingan mengikatkan diri untuk mewujudkan mitigasi dan aksi iklim yang membatasi kenaikan suhu global agar tak melompat di atas 1,5 derajat Celcius dibandingkan suhu pra-revolusi industri itu.
Bukan kebetulan jika dalam KTT Iklim atau COP 29 di Baku, Azerbaijan, komitmen pendanaan iklim setahun yang disepakati cuma 300 miliar dollar AS, jauh di bawah target sebesar 1 triliun dollar AS setahun.
Apalagi target ideal yang mencapai 1,3 triliun dollar AS setahun hingga 2035, yang dibutuhkan negara miskin dan berkembang untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim.
AS dituding sebagai salah satu negara yang menyebabkan realisasi pendanaan iklim cekak tadi.
Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar
Pernyataan berikut harus diulang-ulang karena kepentingan dan kedaruratannya. Pertama, negara-negara di belahan bumi utara bertanggung jawab atas krisis iklim, sebab lebih dari 92 persen emisi karbon yang muntah ke atmosfer dihasilkan mereka.
Kedua, negara-negara di belahan bumi utara, lewat korporasi dan kaki tangan mereka, mengeksploitasi sumber daya (termasuk energi fosil) di belahan bumi selatan. Inilah kolonialisme iklim, satu bab yang tak terelakkan dalam sejarah dunia.
Melengkapi bab kolonialisme yang lebih tua tatkala keserakahan, nafsu menguasai sumber daya alam serta eksploitasi manusia atas manusia lain dipraktikkan dengan bengis oleh negara-negara Eropa, terutama dari barat benua biru itu, di abad 15 hingga abad 20 lalu.
Satu bab lagi adalah kolonialisme kolot yang mengguncang warga sipil sejak Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika hingga Asia, dan seolah membenarkan rumus cepat untuk sejahtera dan makmur: Datang, gali, tanam, angkut dan lalu pergi.
Itulah wajah kolonialisme dan imperialisme lawas dan tetap bertahan hingga kini.
Setelah mengotori atmosfer dengan gas rumah kaca sejak revolusi industri abad 18 silam, negara-negara di belahan bumi utara yang notabene lebih maju--dan otomatis lebih makmur dan sejahtera--mengelak dari kewajiban "urunan" pendanaan iklim yang lebih realistis bagi negara miskin dan berkembang yang terpapar dampak perubahan iklim yang kian masif, tak terkendali dan merusak.
Isi bumi digali dengan eksploitasi yang ugal-ugalan oleh negara maju. Tapi giliran ditagih untuk memulihkan kondisi bumi yang makin tercabik-cabik, negara maju berat pinggul.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya