KOMPAS.com - Demi melawan perubahan iklim dan menuju industri yang netral karbon, kita harus serius memangkas emisi karbon.
Salah satu caranya? Transformasi dalam transportasi, dari yang semula didayai bensin atau solar menjadi listrik.
Tapi tunggu dulu, ada satu bahan penting yang jadi penopang transisi ini: nikel. Logam ini dibutuhkan untuk membuat baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat.
Menurut proyeksi, permintaan global akan nikel bisa naik dua kali lipat pada 2040 karena tren elektrifikasi makin kencang.
Tapi di balik pentingnya nikel, proses produksinya justru bisa jadi bumerang. Polusi dan emisi tinggi soalnya.
Baca juga: Menilik Potensi Indonesia Produksi Baterai dari Nikel Dalam Negeri
Ekstraksi Berbasis Hidrogen, Solusi Ramah Lingkungan
Kabar baik datang dari para ilmuwan di Max Planck Institute for Sustainable Materials (MPI-SusMat).
Mereka berhasil menemukan cara baru dan jauh lebih ramah lingkungan untuk mengekstraksi nikel—pakai hidrogen. Mereka memublikasikannya di jurnal Nature.
"Jika terus memproduksi nikel dengan cara konvensional untuk elektrifikasi, kita hanya bikin masalah baru daripada menyelesaikannya," jelas Ubaid Manzoor, Ph.D., peneliti MPI-SusMat.
Biasanya, produksi nikel menghasilkan sekitar 20 ton karbon dioksida per ton nikel karena menggunakan bahan kimia dan bahan bakar berbasis karbon.
Nah, metode baru ini memadukan seluruh proses—dari pemanasan, peleburan, hingga pemurnian—dalam satu tungku saja.
Hasilnya? Paduan feronikel berkualitas tinggi dengan kadar kotoran super minim, jadi nggak perlu dimurnikan lagi.
Lebih bagus lagi, cara ini bisa hemat energi sampai 18 persen, kurangi emisi karbon sampai 84 persen.
Baca juga: Lancarkan Ekspor Nikel, Pemerintah Harus Lakukan Lobi ke AS
Lebih Banyak Bijih, Lebih Banyak Peluang
Metode ini tidak cuma ramah lingkungan, tapi juga bisa pakai lebih banyak jenis bijih nikel, termasuk yang selama ini dianggap kurang berkualitas.
Ini sangat berguna bagi Indonesia yang saat ini banyak menghasilkan nikel dengan kualitas nomor dua.
Sekarang, tim MPI-SusMat sedang menyiapkan scale-up ke level industri.
Tantangannya? Pastikan bagian logam cair yang belum bereaksi terus bersentuhan dengan permukaan reaksi.
Solusi teknisnya sudah ada, mulai dari busur listrik berarus tinggi, pengaduk elektromagnetik, sampai injeksi gas—semuanya teknologi yang sudah umum dipakai di industri.
Yang lebih menarik, nikel hasil proses ini bisa langsung dipakai untuk bikin baja tahan karat, atau dimurnikan lebih lanjut untuk material baterai kendaraan listrik.
Bahkan limbah sisa prosesnya (slag) masih berguna untuk bikin bata atau semen.
Dan tidak cuma untuk nikel, teknik ini juga bisa dipakai untuk kobalt, bahan penting lain di balik kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi masa depan.
Baca juga: RI harus Selesaikan Isu Sustainability Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya