KOMPAS.com — Ekosistem terumbu karang menghadapi berbagai tantangan serius.
Marine Biodiversity Conservation Lead Yayasan WWF Indonesia, Candhika Yusuf, menyoroti bahwa tekanan datang dari aktivitas manusia di pesisir hingga dampak perubahan iklim.
Berbagai aktivitas manusia yang berdampak negatif antara lain praktik wisata bahari yang tidak bertanggung jawab, termasuk menginjak karang saat snorkeling.
“Praktik perikanan yang merusak, seperti penggunaan bom atau racun ikan, pembangunan, serta alih fungsi lahan di pesisir juga menjadi tantangan dalam menjaga ekosistem terumbu karang,” ujar Candhika kepada Kompas.com pada Selasa (24/5/2025).
Sektor transportasi laut juga memperburuk kondisi terumbu karang akibat tabrakan kapal atau pembuangan jangkar.
Sementara itu, limbah cair dan padat serta polusi ikut mencemari perairan, memperparah tekanan terhadap ekosistem ini.
Perubahan iklim menjadi tantangan besar lainnya.
Candhika menjelaskan bahwa peningkatan suhu laut memicu pemutihan karang (coral bleaching) dan meningkatkan keasaman laut (ocean acidification), yang berdampak pada kematian karang.
Fenomena El Nino, saat terjadi, ikut memperparah kondisi ini.
Kejadian bleaching pertama kali terpantau di Indonesia pada awal 1980-an, dan hingga 2023–2024, El Nino masih menjadi pemicu utama.
Baca juga: BRIN: Kerusakan Terumbu Karang Bikin Kita Krisis Seafood
Meski demikian, riset dari University of Queensland (2018) mengidentifikasi 50 wilayah terumbu karang yang diprediksi bertahan di tengah krisis iklim global, 16 di antaranya berada di Indonesia.
Candhika menekankan bahwa kawasan konservasi laut telah memberi perlindungan awal, termasuk bagi terumbu karang.
Namun, efektivitas pengelolaan masih bervariasi, dengan kendala berupa terbatasnya sumber daya, data, dan pengawasan.
Sistem EVIKA yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pun belum optimal karena keterbatasan anggaran.
Hambatan infrastruktur, sulitnya akses geografis, dan minimnya tenaga pengawas turut memperburuk tantangan dalam menjaga kawasan konservasi.
Meski tantangan besar membayangi, Candhika tetap optimistis bahwa upaya pelestarian bisa dilakukan.
Peluangnya adalah kolaborasi pemerintah dengan masyarakat, LSM, dan dunia pendidikan.
“Ini bisa menjadi opsi terbaik untuk memastikan pengelolaan yang lebih efektif, baik dari sisi pengawasan sumber daya laut maupun dukungan skema pendanaan yang berkelanjutan,” katanya.
“Program-program WWF Indonesia secara aktif melibatkan komunitas pesisir dalam konservasi dan rehabilitasi karang, pemantauan sumber daya laut, serta edukasi lingkungan,” imbuhnya.
WWF Indonesia juga bekerja sama dengan institusi pendidikan dan pengelola kawasan konservasi untuk membangun pusat pembelajaran konservasi (MPA Center of Excellence), seperti di Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Alor dan Taman Nasional Wakatobi.
Baca juga: Trenggalek Pulihkan Terumbu Karang, Siapkan Ekowisata Selam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya