Di balik daun sederhana yang direbus di dapur Suku Dayak, tersimpan arsip ingatan kolektif mengenai bagaimana sebuah komunitas memahami lingkungannya, menjaga kesehatannya, mengatur keseimbangan ekologi, serta membangun jati diri lewat rasa.
Itulah sebabnya, menjaga sungkai dan teken parei bukanlah nostalgia kekayaan lokal. Ia adalah tugas politik dan ekologis.
Dalam setiap helai daun yang mungkin terlihat sepele, ada pertanyaan besar: siapa yang mengendalikan selera kita, siapa yang menentukan apa yang kita makan, dan siapa yang diuntungkan ketika rasa kita diseragamkan?
Jika kita biarkan, penyeragaman rasa akan jadi penyeragaman pikiran. Di sanalah kolonialisme pangan berakar. Bukan lagi lewat senjata, tapi lewat penyedap rasa di dapur kita.
Para akademisi harus mendokumentasikan pengetahuan lokal ini sebelum hilang. Pemerintah perlu melindungi tanaman dan praktik kuliner lokal, bukan sekadar membiarkan industri pangan menguasai pasar.
Lembaga pendidikan perlu mengajarkan bahwa kedaulatan rasa sama pentingnya dengan kedaulatan politik.
Sementara kita sebagai konsumen, perlu berani bertanya: apa yang sebenarnya kita masukkan ke dalam tubuh setiap hari?
Pada akhirnya, menjaga keberagaman rasa adalah menjaga kebebasan kita sebagai manusia. Sebab, di balik setiap masakan yang berbeda, ada kebudayaan yang kaya, sehat, dan adil.
* Ethnomusicologist & Lecturer, Universitas Katolik Parahyangan
Baca juga: Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya