WASUPONDA, KOMPAS.com — Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WITA. Matahari pagi, langit tanpa awan, dan semilir angin khas perbukitan menyambut tim Kompas.com saat tiba di Desa Tabarano di Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Selasa (23/9/2025).
Di balik indahnya pemandangan itu, tersimpan kisah perjuangan bagaimana sebuah desa kecil dengan puluhan hektare lahan kritis rawan terbakar berubah menjadi desa yang produktif, bahkan mandiri.
“Dulu, Desa Tabarano dikenal sebagai ‘desa kering’. Terdapat banyak lahan kritis yang rawan kebakaran, luasnya mencapai 50 hektare. Kebakaran bisa terjadi hingga enam kali dalam setahun, terutama saat El Nino pada 2021 hingga 2022,” kenang Kepala Desa Tabarano Rimal Manuk Allo.
Akibat dari masalah tersebut, Rimal melanjutkan, desa harus menganggarkan dana besar setiap tahun untuk memadamkan api yang kerap menyala hingga tengah malam.
Baca juga: 19 Tahun Perjalanan Himalaya Hill, dari Lahan Tambang Tandus Jadi Arboretum Hijau
Tidak berhenti sampai di situ. Lahan-lahan kritis di desa tersebut juga mengandung silika. Ini membuat tanaman jangka panjang tidak dapat tumbuh karena selalu mati ketika akar menyentuh lapisan silika. Warga pun akhirnya membiarkan lahan-lahan tersebut tertidur panjang.
Rimal yang telah menjabat dua periode sebagai Kepala Desa Tabarano menuturkan bahwa pada periode kepemimpinan pertamanya, ia fokus pada persoalan mendasar, mulai air bersih, sanitasi, hingga sampah.
Setelah itu beres, pada periode kedua kepemimpinannya, ia mulai menargetkan potensi lahan desa, termasuk lahan kritis.
Langkah strategis pun diambil dengan cara menanam nanas agar lahan-lahan tidur yang ada kembali produktif sekaligus menekan risiko bencana. Keputusan ini dipilih meski proses menyiapkan lahan tidak mudah.
Baca juga: Melihat Upaya Konservasi Tanaman dan Fauna Endemik Sulawesi di Taman Kehati Sawerigading Wallacea
Inspirasi penanaman nanas datang dari nama kecamatan tempat Desa Tabarano berdiri, Wasuponda.
Wasuponda berasal dari kata "wasu" yang berarti batu dan "ponda" yang berarti nanas, secara harfiah berarti nanas di atas bebatuan. Bahkan, hingga kini, masih ada situs nanas yang tumbuh di atas batu di Desa Tanonggi, tidak jauh dari lokasi kebun.
“Ini menjadi refleksi kami, masa daerah yang bernama Wasuponda tidak memiliki sentra nanas yang nyata?” ujar Rimal merefleksikan kondisi Wasuponda.
Selain bertujuan untuk mengembalikan kearifan lokal, ia menambahkan, alasan nanas dipilih juga karena buah ini mampu tumbuh di tanah yang kurang subur.
Baca juga: Merawat Ekosistem Pesisir Malili lewat Transplantasi Karang dan Restorasi Mangrove
Upaya baik tak bisa dilakukan sendiri. Rimal pun menggandeng PT Vale Indonesia pada 2022.
Gayung bersambut. Pada 2023, program nanas yang diinisiasi Desa Tabarano mendapat dukungan dari PT Vale Indonesia melalui Program Terpadu Pengembangan Masyarakat (PTPM). Perusahaan menyediakan 15.000 bibit nanas varietas unggul dari Subang, Jawa Barat, serta mendatangkan konsultan pertanian untuk mendampingi kelompok tani.
Senior Coordinator PTPM Livelihood PT Vale Sainab Husain Paragay menjelaskan alasan pemilihan nanas sebagai tanaman rehabilitasi lahan. Selain tahan terhadap kondisi tanah asam dengan pH 3-4, nanas juga memiliki nilai ekonomi tinggi.
"Kami melakukan baseline study terlebih dahulu untuk memastikan nanas cocok ditanam di sini," ungkap Sainab.
Baca juga: Vale Indonesia Ubah Limbah Nikel Jadi Berkah lewat Inisiatif Sirkular
Ditanam secara organik, tanpa pestisida kimia, bibit-bibit nanas tersebut bertumbuh sangat baik. Ukuran dan bobotnya bahkan jauh lebih besar melebihi nanas dari daerah asalnya.
Ketua Kelompok Tani Ponda'ta Yohanis Gusti mengungkapkan bahwa buah nanas terbesar yang pernah dipanen mencapai 7 kilogram. Nanas dijual Rp 15.000 per kilogram dan laris manis di pasaran lokal.
"Konsumsi masyarakat terhadap nanas sangat tinggi. Kami belum bisa ekspor karena stok masih terbatas," tutur Yohanis.
Kini, dari 50 hektare lahan kritis yang ada di Desa Tabarano, 5 hektare di antaranya telah disulap menjadi kebun nanas bernama Ponda’ta. Dari 15.000 bibit yang diberikan, sekarang ada 26.000 pohon nanas yang tumbuh subur di kebun tersebut.
Baca juga: PT Vale Indonesia Sabet Lestari Award 2025 untuk Program Kehati Lutim Bersinergi
Program nanas di Desa Tabarano menciptakan efek berganda. Tidak hanya menyulap lahan tidur jadi produktif kembali, tapi juga memberdayakan kelompok rentan ekonomi dan perempuan.
Sehari-harinya, kegiatan berkebun dilakukan oleh Kelompok Tani Ponda'ta yang beranggotakan 17 petani. Sebagian dari mereka berasal dari kelompok rentan ekonomi.
Salah satu anggota Kelompok Tani Ponda’ta, Rafael, menuturkan manfaat langsung dari program nanas yang ada di Desa Tabarano. Pria berusia 60 tahun ini adalah pensiunan kontraktor Vale. Sempat tidak bekerja beberapa waktu, ia ditawari bergabung ke kelompok tani atas ajakan kepala desa.
Dari situ, Rafael kini bisa mendapatkan penghasilan tetap Rp 1,5 juta per bulan.
Baca juga: Vale Indonesia Lakukan Reklamasi 3.791 Hektare Lahan Tambang di Sulsel
“Perbedaan dari segi penghasilannya, beda memang,” ucapnya.
Selain itu, Rafael menilai, program nanas di Desa Tabarano sangat baik untuk jangka panjang, tidak hanya untuknya, tapi juga untuk anak cucu masyarakat desa.
Meski demikian keberhasilan panen nanas bukan tanpa tantangan. Justru, hal ini memunculkan tantangan baru, yaitu daya tahan buah yang terbatas. Nanas segar hanya bertahan seminggu sebelum rusak. Untuk mengatasi hal ini, dibentuk kelompok pengolah produk turunan nanas yang beranggotakan 12 perempuan ibu rumah tangga.
Salah satu anggota kelompok, Gilda Melyani, bercerita tentang awal mula keterlibatan mereka. Kelompok ini terbentuk pada awal 2024, setahun setelah penanaman nanas dimulai. Tujuannya, untuk mendukung kesuksesan program desa.
Baca juga: Menilik Pertanian Organik di Wasuponda Sulawesi Selatan
Beruntung, kata Gilda, PT Vale Indonesia turut mendampingi. Perusahaan memberikan pelatihan diversifikasi produk turunan nanas kepada kelompok perempuan ini. Mereka belajar membuat dodol nanas, selai, sirup, asinan, hingga keripik nanas. Vale juga membantu pengurusan sertifikasi halal dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Meski tantangannya adalah pasokan buah nanas yang belum banyak, Gilda tetap optimistis bahwa kegiatan ini akan memberikan manfaat jangka panjang.
Terkait produk olahan nanas, Gilda menyebut dodol nanas menjadi produk paling diminati, meski pembuatannya memakan waktu seharian.
"Pernah kami memasak dodol dari pagi hingga tengah malam untuk mendapatkan tekstur yang pas," kenang Gilda sambil tertawa.
Baca juga: Kata Vale Indonesia soal Dirty Nickel
Selain produk kuliner, Vale juga melatih pemanfaatan serat daun nanas untuk membuat tas dan kain tenun. Bahkan kertas dari serat nanas pun telah berhasil dibuat sebagai prototipe.
Bagi ibu-ibu anggota kelompok, program pengolahan produk turunan nanas membawa dampak positif ganda. Mereka yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga kini memiliki kegiatan produktif dan tambahan penghasilan.
"Kami mendapat ilmu baru dan bisa berkumpul secara positif. Harapan kami, produk ini bisa punya merek sendiri dan pasar yang jelas," ujar Gilda.
Desa Tabarano memiliki struktur alam yang berbukit dan menantang. Kondisi ini, dinilai Yohanis, bisa membuka lebar pintu potensi wisata lain. Ia menyebut glamping dan wisata petualangan, seperti atraksi off-road. Ini mengingat, di sekitar Tabarano, terdapat masyarakat yang mencintai otomotif.
Baca juga: Vale Indonesia Klaim Telah Rehabilitasi 2,5 Kali Lahan Tambangnya
Selain itu, lanjut Yohanis, Desa Tabarano juga bisa dikembangkan menjadi destinasi edu-ecotourism yang holistik. Pasalnya, selain nanas, kebun juga digabungkan dengan tanaman lain seperti jagung, pisang, dan sukun untuk penahan air dan pendukung keanekaragaman hayati.
Apalagi, saat ini, desa sedang menyiapkan fasilitas pendukung bersama PT Vale Indonesia, seperti rumah kompos, rumah maggot, dan nursery. Fasilitas ini akan dijadikan sarana edukasi bagi pengunjung dan anak sekolah yang ingin belajar tentang pertanian berkelanjutan dan praktik sirkular.
Sainab menjelaskan, fasilitas itu dibangun juga untuk mendukung kemandirian kelompok tani. Rumah maggot berfungsi mengolah limbah organik menjadi pakan ternak, sementara nursery menyediakan bibit nanas bagi masyarakat yang ingin menanam di pekarangan rumah.
“Kami hanya katalis. Tujuannya adalah kemandirian masyarakat. Ketika Vale exit, masyarakat sudah siap berjalan sendiri,” tegas Sainab.
Baca juga: Menitip Asa Masa Depan Tambang Berkelanjutan Vale Indonesia di Danau Matano
Dari lahan kritis yang rawan terbakar, Desa Tabarano kini bangkit dengan kebun nanas yang hijau dan produktif. Program ini membuktikan bahwa kolaborasi antara pemerintah desa, perusahaan, dan masyarakat mampu menghadirkan perubahan nyata.
Transformasi tersebut juga mengantarkan Desa Tabarano resmi menjadi “Desa Mandiri” dari “Desa Tertinggal”.
Wasuponda kembali menjadi tempat di mana nanas tumbuh subur, bahkan di atas batu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya