JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Leopold Oscar Nelwan, menilai bahan bakar campuran etanol 10 persen atau E10 bisa meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT). Hal ini disampaikannya, merespons rencana pemerintah mewajibkan penggunaan E10 dalam semua produk BBM.
Kendati menguntungkan dari sisi EBT dan mendukung strategi nasional menuju emisi nol bersih, praktiknya bergantung pada banyak faktor termasuk bahan baku serta industri pengolahan bioetanol.
"Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi oleh biomassa generasi pertama, yaitu tanaman penghasil gula dan pati. Masalahnya, bahan baku ini masih bersaing dengan kebutuhan pangan," ungkap Leopold dalam keterangannya, Selasa (14/10/2025).
Karena itu, pengembangan bahan baku harus diarahkan pada biomassa generasi kedua dan seterusnya yang tidak bersaing dengan pangan.
Baca juga: Guru Besar ITB: Etanol di BBM Kurangi Impor dan Buka Peluang Kerja Hijau
"Jika dilakukan dengan bijak, potensi pengurangan emisi GRK tentu dapat terwujud," imbuh dia.
Leopold menjelaskan bahwa bensin berbasis bioetanol 5 persen sudah tersedia di pasaran melalui produk Pertamax Green 95 milik Pertamina. Produk ini dikenal sebagai Bensin E5 yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No.252.K/HK.02/DJM/2023.
Wacana penerapan wajib E10 di masa mendatang merupakan langkah menarik yang perlu dikaji dari berbagai aspek.
"Kebijakan ini dapat memiliki banyak keuntungan, tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi," kata Leopold.
Selain aspek lingkungan, implementasi E10 berpotensi mengembangkan industri bioetanol dalam negeri sekaligus menyerap lebih banyak tenaga kerja. Leopold menyebutkan, proyek itu membuka rantai pasok yang melibatkan banyak pihak terutama petani.
"Jika bioetanol dapat diproduksi sepenuhnya di dalam negeri, kemandirian energi Indonesia akan semakin kuat," ungkap dia.
Di sisi lain, ia menekankan pencampuran etanol dan bensin harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Etanol yang digunakan harus memiliki kadar air kurang dari 0,3 persen volume per volume (v/v) karena sifatnya yang higroskopis atau mudah menyerap air.
Apabila kadar air terlalu tinggi, campuran bensin serta etanol dapat mengalami pemisahan fase lalu berisiko menyebabkan korosi dan gangguan aliran bahan bakar.
"Masalah ini dapat diminimalkan jika kadar air campuran di bawah 0,15 persen m/m, seperti yang diterapkan pada E5," sebut dia.
Baca juga: Bank Sampah di Banjarnegara Sulap Plastik Kresek Jadi BBM
Selain itu, pengembangan prosedur operasi standar (SOP) yang lebih ketat harus dijalankan. Mengingat kandungan bioetanol yang lebih tinggi, SOP ini penting guna memastikan perubahan minimal pada kualitas bahan bakar terutama penyerapan air dari udara lembap agar bahan bakar sampai ke konsumen dengan aman.
Seperti diesel, bahan bakar tersebut tak boleh dibiarkan tidak terpakai di tangki mobil terlalu lama untuk mencegah kerusakan mesin.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya