JAKARTA, KOMPAS.com — Dua tahun sejak diluncurkan, Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) belum menunjukkan geliat yang diharapkan. Nilai transaksi dan partisipasi pasar masih rendah, bahkan tertinggal jauh dibandingkan skema perdagangan karbon di tingkat global.
Padahal, bursa karbon diharapkan menjadi salah satu pilar utama strategi iklim nasional untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), total transaksi karbon di Indonesia sejak beroperasi baru mencapai Rp 78 miliar atau sekitar 4,9 juta dollar AS dengan hanya delapan proyek terdaftar dan 132 peserta aktif.
Baca juga: Studi Oxford dan Pennsylvania: Carbon Offset Gagal Jawab Masalah, Hentikan Saja
Sebagai pembanding, sistem perdagangan karbon Uni Eropa mencakup lebih dari 11.000 peserta dan menyasar 40 persen dari total emisi kawasan, dengan harga karbon rata-rata mencapai 70 dollar AS per ton CO?. Sementara Jepang, yang baru memulai pasar karbon pada 2024, sudah memiliki 700 peserta dan diperkirakan akan terus meningkat seiring rencana penerapan wajib pada 2026.
“Kinerja pasar karbon Indonesia belum memenuhi harapan, terutama dibandingkan dengan awal yang menjanjikan pada 2023,” ujar Mutya Yustika, Research & Engagement Lead Indonesia Energy Transition IEEFA, dalam keterangan tertulis, Rabu (15/10/2025).
Mutya menjelaskan, pada triwulan akhir 2023, IDX Carbon mencatat nilai transaksi sebesar Rp 31 miliar dengan volume perdagangan mencapai 494.254 ton CO? ekuivalen.
Namun, tren itu menurun pada 2024, di mana harga karbon rata-rata turun menjadi Rp 55.985 per ton, dengan nilai transaksi hanya Rp 20 miliar dan volume perdagangan berkurang menjadi 413.764 ton CO? ekuivalen.
Menurut IEEFA, stagnasi pasar karbon domestik dipengaruhi oleh penerapan strategi penetapan harga karbon hibrid, yaknia gabungan antara sistem cap-and-trade dan pajak karbon.
Dalam skema ini, perusahaan yang melebihi batas emisi diwajibkan membeli kredit karbon atau membayar pajak jika kredit tidak tersedia.
Namun, karena batas emisi ditetapkan terlalu longgar, hanya sedikit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terkena kewajiban tersebut. Akibatnya, permintaan kredit karbon dan penerimaan pajak karbon menjadi sangat terbatas.
Baca juga: Atasi Emisi karena AI, Big Tech Andalkan Nuklir dan Carbon Capture
Selain itu, tumpang tindih regulasi antar kementerian juga disebut menjadi penghambat utama, terutama dalam proses sertifikasi dan perdagangan, yang menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor.
Untuk memperbaiki tata kelola, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 yang bertujuan memperjelas kerangka regulasi dan mendorong kolaborasi lintas kementerian.
Namun, efektivitas aturan ini dinilai bergantung pada implementasi dan pengawasan yang konsisten.
“Reformasi pasar karbon harus dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari penetapan batas emisi yang lebih ketat, regulasi yang transparan dan berstandar internasional, hingga memperkuat sistem sertifikasi dan kelembagaan di IDX Carbon,” ujar Mutya.
Meski berjalan lambat, Indonesia dinilai memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon global. Dengan kekayaan hutan tropis, mangrove, dan lahan gambut, Indonesia memiliki ekosistem yang mampu menyerap lebih dari 113 miliar ton CO?.
Baca juga: Gula-gula Pasar Karbon Dunia dan Pahitnya bagi Indonesia
Potensi di sektor energi terbarukan juga disebut mampu mereduksi emisi tahunan hingga 27,5 miliar ton CO? ekuivalen.
“Jika dikelola dengan baik, pasar karbon dapat membuka pendanaan iklim, meningkatkan ketahanan energi, dan menempatkan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam tata kelola karbon,” kata Mutya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya