Alih-alih hanya menjual kredit karbon hutan, Indonesia perlu menegakkan perlindungan ketat terhadap hutan alam dan lahan gambut dengan menghentikan deforestasi.
Subsidi energi fosil yang mencapai Rp169,5 triliun pada 2024, sebaiknya mulai dialihkan untuk mendukung energi surya, angin, dan panas bumi.
Dengan potensi energi terbarukan yang begitu besar, pengalihan subsidi untuk memberi insentif bagi proyek pembangkit energi bersih akan jauh lebih efektif menurunkan emisi.
Pemerintah dapat mewajibkan audit energi di sektor industri dan bangunan, sekaligus memberi insentif untuk investasi peralatan hemat energi, seperti sistem pendingin efisien dan teknologi pemulihan panas buangan.
Langkah ini bukan hanya menurunkan emisi, tapi juga memangkas biaya energi nasional dan mengurangi beban subsidi.
Elektrifikasi transportasi juga harus dipercepat. Pengalaman Norwegia menunjukkan bahwa insentif kendaraan listrik, penyediaan infrastruktur pengisian daya, dan integrasi transportasi publik berbasis listrik dapat menekan emisi secara signifikan.
Tentu saja dengan catatan, bahan baku di hulunya seperti nikel dan baja juga harus dipastikan bersih.
Indonesia juga bisa membangun mekanisme pendanaan inovatif seperti penerbitan green bond atau sovereign climate bond dengan standar transparansi internasional. Skema semacam ini akan menarik minat investor global menanamkan modal iklim di Indonesia.
* Research Associate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney
Baca juga: Atasi Batu Sandungan Emisi Sektor Energi, Pensiunkan PLTU Jadi Solusi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya