Pada 2017, misalnya, Komisi Eropa melaporkan bahwa 85 persen dari proyek penebusan karbon atau carbon offsetting di bawah skema CDM gagal menurunkan emisi secara nyata akibat jeleknya kualitas kredit karbon yang diperjualbelikan.
Masalah lain adalah harga yang naik-turun. Di Indonesia harga karbon bahkan masih jauh di bawah nilai ideal yang dianjurkan.
Harga karbon yang murah membuat biaya yang harus ditanggung perusahaan atas emisi mereka menjadi kecil. Alhasil, mereka kurang termotivasi untuk berinvestasi dalam teknologi rendah karbon atau proyek energi bersih.
Untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2°C, harga karbon seharusnya berada pada kisaran 63 - 127 miliar dollar AS (Rp1,1 - 2,1 juta) per ton setara CO?. Untuk target membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat C, harga yang dianjurkan bahkan lebih tinggi, yakni 226-385 miliar dollar AS (Rp3,8-6,4 juta) per ton CO? ekuivalen.
Lemahnya sistem pengawasan membuka peluang manipulasi. Uni Eropa misalnya, pernah diguncang skandal ketika sebuah perusahaan di Bulgaria memalsukan laporan emisi pada 2017-2023 dan menyebabkan kerugian hingga 75 juta Euro (Rp1,2 triliun).
Di Indonesia, risiko ini lebih besar karena kombo aturan pengawasan yang masih belum jelas, kapasitas pengawasan terbatas, dan transparansi rendah.
Mengingat berbagai catatan di atas, tak heran jika sejumlah lembaga keuangan global mulai menarik diri dari pasar karbon karena khawatir terhadap risiko reputasi dan finansial.
Pada 2024, HSBC bahkan membatalkan rencananya membuka meja perdagangan karbon lantaran kredibilitas pasar karbon global melemah.
Alih-alih bergantung pada perdagangan karbon, Indonesia perlu membaca tren investasi global.
Menurut International Energy Agency (IEA), total investasi energi dunia pada 2025 diperkirakan mencapai 3,3 triliun dollar AS (Rp54,9 kuadriliun), naik 2 persen dari 2024.
Lebih dari dua pertiga di antaranya, atau sekitar 2,2 triliun dollar AS (Rp36,6 kuadriliun) mengalir ke sektor rendah karbon, mulai dari energi terbarukan, nuklir, jaringan listrik, penyimpanan energi, bahan bakar hijau, efisiensi energi, hingga kendaraan listrik.
Baca juga: SIEW 2025: IEA Dorong Hilirisasi Mineral Kritis untuk Perkuat Ketahanan Energi
Kita bisa melihat contoh nyata Cina. Negara ini menggelontorkan 625 miliar dollar AS (Rp10,4 kuadriliun) untuk energi terbarukan pada 2024. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dibanding 2015.
Investasi besar-besaran ini membuat Cina diperkirakan mencapai puncak emisi pada 2025, lebih cepat dari perkiraan semula.
IEA juga memperkirakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menjadi magnet utama dengan perkiraan investasi mencapai 450 miliar dollar AS (Rp7,5 kuadriliun) pada 2025 untuk PLTS atap.
Belajar dari kegagalan pasar karbon dan tren investasi global, Indonesia sebaiknya menggeser fokus dari berjualan karbon ke strategi transisi energi yang lebih nyata, seperti berikut:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya