Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr.-phil. Ir. Arinafril
Dosen dan Peneliti

Doktor Biogeografi dari Universität des Saarlandes, Saarbrücken, Jerman, Dosen Proteksi Tanaman Universitas Sriwijaya, dan Dosen Tamu Truong Dai hoc Nong Lam, Thai Nguyen, Vietnam.

Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan

Kompas.com, 5 Desember 2025, 07:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

DALAM kehidupan masyarakat adat Indonesia, kearifan adat atau lokal masih tetap dipegang kuat. Beberapa tempat yang dianggap keramat seperti pohon besar, pemakaman dan tempat ibadah kuno, hutan larangan, sungai, danau, sumur, mata air, dan lain-lain, bukan hanya ruang, media, tempat spiritual, melainkan penanda alam yang menyimpan hikmah leluhur tentang bahaya tersembunyi.

Bayangkan pohon tua itu sebagai penjaga diam yang berbisik tentang longsor, atau hutan terlarang sebagai benteng melawan banjir. Semua ini adalah cara alam berbicara melalui budaya. Sistem Subak di Bali menjaga irama air seperti denyut nadi kosmos, Sasi di Maluku melindungi laut agar ikan kembali berkembang biak, serta hutan adat Ammatoa Kajang di Sulawesi menahan tanah longsor dengan kesakralan adat.

Pengetahuan ini lahir dari pengamatan panjang leluhur, di mana setiap ritual menjadi catatan hidup tentang siklus alam yang rapuh. Seperti simbiosis dalam ekosistem, tempat keramat menghubungkan manusia dengan tanah, air, dan angin, menciptakan keseimbangan di mana satu elemen mendukung yang lain tanpa paksaan.

Ketika pohon keramat ditebang, bukan hanya roh yang hilang, tapi juga akar yang menyerap banjir, mengingatkan kita bahwa budaya adat adalah narasi ekologis yang mengalir alami seperti sungai.

Filsafat ekologis melihat tempat keramat sebagai cermin kosmos, di mana manusia belajar mendengar bisikan bumi sebelum badai datang. Di sinilah penanda ekologis berfungsi sebagai predator dan mangsa dalam cerita alam: hutan larangan "memangsa" keserakahan manusia agar keseimbangan tetap utuh. Mengabaikannya berarti memutus rantai adaptasi yang telah teruji berabad-abad.

Baca juga: Belajar Filsafat Hidup dan Kearifan Lokal lewat Petilasan Sri Aji Jayabaya di Kediri

Etika Lingkungan Menjadi Antagonis

Filsafat alam mengajarkan bahwa manusia hanyalah benang dalam jaring kehidupan raksasa, bukan raja yang menindas. Ambisi pembangunan kini mengubah hutan menjadi lahan sawit, daerah resapan menjadi perumahan, dan tanah subur menjadi lubang tambang, semua demi keuntungan sesaat.

Banjir dan longsor pun bukan sekadar murka langit, melainkan balasan dari pengkhianatan ini terhadap harmoni bumi. Logika kapitalisme rakus ini seperti parasitisme dalam ekosistem: manusia untung sementara, alam buntung selamanya, meninggalkan tanah gersang yang tak lagi subur.

Alih fungsi lahan resapan memicu banjir bandang, sementara tambang meracuni sungai, membuktikan bahwa etika terkikis bukan karena kekurangan teknologi, tapi karena lupa akan ikatan moral dengan bumi.

Narasi kerusakan ini mengalir dari keserakahan, di mana pembangunan modern menjadi antagonis yang menguji ketahanan alam. Dalam filsafat lingkungan, etika ini menuntut adaptasi: manusia harus berubah dari penjarah menjadi penjaga.

Ketika hutan diganti beton, kita kehilangan bukan hanya pohon, tapi juga pelajaran tentang keselarasan, di mana setiap tindakan kembali sebagai konsekuensi etis yang tak terhindarkan.

Baca juga: Sasi, Kearifan Adat untuk Keberlangsungan Alam

Kearifan Adat vs. Kebijakan Modern

Kearifan lokal seperti Subak mengatur air dengan keadilan kosmologis, sementara bendungan raksasa sering memicu konflik sosial dan ekologis. Sasi menjaga laut melalui larangan adat untuk regenerasi, berbeda dengan perikanan industri yang mendorong overfishing berlebih. Tempat keramat berperan sebagai benteng alam melawan bencana, kontras dengan tata ruang modern yang menempatkan industri di zona rawan.

Jurang ini mencerminkan dua narasi bertabrakan: adat memupuk simbiosis mutualisme antara manusia dan alam, di mana larangan Sasi seperti relasi saling menguntungkan yang memungkinkan ikan berkembang biak. Sebaliknya, kebijakan modern sering jadi komensalisme egois, ketika hanya manusia untung, sedangkan alam merugi, sehingga daya dukung lingkungan runtuh seperti ekosistem tanpa predator.

Di Bali, Subak mengajarkan keselarasan Tri Hita Karana, sementara bendungan mengganggu alur sungai alami, memicu banjir hilir. Komparasi ini menggugat: mengapa kita abaikan adaptasi adat yang telah bertahan banjir dan longsor, demi pertumbuhan cepat yang meninggalkan kehampaan?

Narasi ekologis adat mengalir organik, sementara modern terasa dipaksakan, seperti cerita tanpa keseimbangan akhir.

Baca juga: Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal

Kritik atas Paradigma Pembangunan Semu

Pembangunan Indonesia terperangkap mitos kemajuan, misalnya beton tol dan gedung pencakar langit, yang sebenarnya mengorbankan jiwa bumi. Hilangnya tempat keramat berarti hilangnya perisai ekologis bagi rakyat kecil, sementara keserakahan pengusaha menimbun longsor di balik keuntungan.

Ini bukan kemajuan, melainkan kekerasan terselubung yang merenggut martabat manusia sebagai penjaga alam. Paradigma ini seperti bencana klimaks dalam ekosistem: deforestasi sawit memicu longsor, perumahan di resapan membanjiri kampung, menciptakan ketidakadilan di mana rakyat miskin jadi mangsa pertama.

Kritik filsafat menyoroti bahwa pembangunan semu meninggalkan jejak kekeringan moral, di mana beton menggantikan akar pohon keramat yang menahan tanah. Pengusaha dan pemerintah, terbutakan mitos kemajuan, lupa bahwa alam bukan komoditas, tapi mitra hidup.

Akar masalahnya adalah pengingkaran etis struktural, di mana modernisasi menganggap adat sebagai hambatan, padahal justru itulah benteng terhadap kehancuran. Narasi ini menuntut refleksi: tanpa etika, kemajuan hanyalah ilusi yang runtuh saat bumi membalas.

Baca juga: Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim

Paradoks Integrasi Filsafat dan Tindakan

Mengintegrasikan pengetahuan adat ke tata ruang, menjadikan tempat keramat kawasan lindung sejati, menyampaikan etika ekologis lewat pendidikan agar generasi muda tak terbutakan nafsu eksploitasi, memaksa pengusaha menjadikan keberlanjutan sebagai inti bisnis, dan bukan sekadar Corporate Social Responsibility (CSR) tak ada makna, serta menggerakkan masyarakat sipil untuk menyuarakan harmonisasi alam dan kehidupan, haruslah dilakukan secara terencana dengan mengingat bahwa hidup bukan untuk hari ini saja.

Bencana bukan takdir, melainkan panggilan alam, panggilan kehidupan mendatang, mengisyaratkan bahwa kita harus hidup selaras dengan alam, ataukah nanti bumi akan menuntut balik dengan kehancuran dahsyat.

Solusi filosofis ini meniru adaptasi ekosistem: pemerintah menciptakan regulasi yang menghormati tempat keramat sebagai area yang harus diperlakukan sebagai penanda ekologis, penanda banjir, dan menjadikan area pendidikan untuk membangun kesadaran seperti simbiosis generasi muda dengan alam.

Pengusaha harus bertransformasi dari "predator" menjadi mitra mutualisme melalui bisnis hijau, sementara masyarakat sipil jadi kekuatan klimaks yang dorong keseimbangan baru. Integrasi mutualisme akan mengalirkan narasi harapan, di mana pembangunan sejati lahir dari harmoni, bukan dominasi.

Dengan langkah ini, kita kembali memulihkan martabat agung manusia sebagai penjaga bumi, mengubah tragedi bencana menjadi kisah masa lalu untuk menyeimbangkan hidup baru dengan alam di masa depan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Pemerintah
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
LSM/Figur
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
BUMN
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Swasta
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pemerintah
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
LSM/Figur
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
LSM/Figur
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Pemerintah
Ketika Motor Listrik Jadi Andalan Ojol untuk Cari Rezeki
Ketika Motor Listrik Jadi Andalan Ojol untuk Cari Rezeki
Pemerintah
Sampel Udara Berusia 35 Tahun Tunjukkan Perubahan Ritme Alam akibat Iklim
Sampel Udara Berusia 35 Tahun Tunjukkan Perubahan Ritme Alam akibat Iklim
LSM/Figur
Hadapi Regulasi Anti-Deforestasi UE, Sawit dan Kayu Indonesia Dilacak hingga ke Kebunnya
Hadapi Regulasi Anti-Deforestasi UE, Sawit dan Kayu Indonesia Dilacak hingga ke Kebunnya
Swasta
IBF dan AKCI Resmi Jalin Kolaborasi Perdana untuk Pelestarian Ekosistem di Lombok
IBF dan AKCI Resmi Jalin Kolaborasi Perdana untuk Pelestarian Ekosistem di Lombok
LSM/Figur
RSPO Belum Terima Laporan Dugaan Anggota Sebabkan Banjir Sumatera
RSPO Belum Terima Laporan Dugaan Anggota Sebabkan Banjir Sumatera
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau