DALAM kehidupan masyarakat adat Indonesia, kearifan adat atau lokal masih tetap dipegang kuat. Beberapa tempat yang dianggap keramat seperti pohon besar, pemakaman dan tempat ibadah kuno, hutan larangan, sungai, danau, sumur, mata air, dan lain-lain, bukan hanya ruang, media, tempat spiritual, melainkan penanda alam yang menyimpan hikmah leluhur tentang bahaya tersembunyi.
Bayangkan pohon tua itu sebagai penjaga diam yang berbisik tentang longsor, atau hutan terlarang sebagai benteng melawan banjir. Semua ini adalah cara alam berbicara melalui budaya. Sistem Subak di Bali menjaga irama air seperti denyut nadi kosmos, Sasi di Maluku melindungi laut agar ikan kembali berkembang biak, serta hutan adat Ammatoa Kajang di Sulawesi menahan tanah longsor dengan kesakralan adat.
Pengetahuan ini lahir dari pengamatan panjang leluhur, di mana setiap ritual menjadi catatan hidup tentang siklus alam yang rapuh. Seperti simbiosis dalam ekosistem, tempat keramat menghubungkan manusia dengan tanah, air, dan angin, menciptakan keseimbangan di mana satu elemen mendukung yang lain tanpa paksaan.
Ketika pohon keramat ditebang, bukan hanya roh yang hilang, tapi juga akar yang menyerap banjir, mengingatkan kita bahwa budaya adat adalah narasi ekologis yang mengalir alami seperti sungai.
Filsafat ekologis melihat tempat keramat sebagai cermin kosmos, di mana manusia belajar mendengar bisikan bumi sebelum badai datang. Di sinilah penanda ekologis berfungsi sebagai predator dan mangsa dalam cerita alam: hutan larangan "memangsa" keserakahan manusia agar keseimbangan tetap utuh. Mengabaikannya berarti memutus rantai adaptasi yang telah teruji berabad-abad.
Baca juga: Belajar Filsafat Hidup dan Kearifan Lokal lewat Petilasan Sri Aji Jayabaya di Kediri
Filsafat alam mengajarkan bahwa manusia hanyalah benang dalam jaring kehidupan raksasa, bukan raja yang menindas. Ambisi pembangunan kini mengubah hutan menjadi lahan sawit, daerah resapan menjadi perumahan, dan tanah subur menjadi lubang tambang, semua demi keuntungan sesaat.
Banjir dan longsor pun bukan sekadar murka langit, melainkan balasan dari pengkhianatan ini terhadap harmoni bumi. Logika kapitalisme rakus ini seperti parasitisme dalam ekosistem: manusia untung sementara, alam buntung selamanya, meninggalkan tanah gersang yang tak lagi subur.
Alih fungsi lahan resapan memicu banjir bandang, sementara tambang meracuni sungai, membuktikan bahwa etika terkikis bukan karena kekurangan teknologi, tapi karena lupa akan ikatan moral dengan bumi.
Narasi kerusakan ini mengalir dari keserakahan, di mana pembangunan modern menjadi antagonis yang menguji ketahanan alam. Dalam filsafat lingkungan, etika ini menuntut adaptasi: manusia harus berubah dari penjarah menjadi penjaga.
Ketika hutan diganti beton, kita kehilangan bukan hanya pohon, tapi juga pelajaran tentang keselarasan, di mana setiap tindakan kembali sebagai konsekuensi etis yang tak terhindarkan.
Baca juga: Sasi, Kearifan Adat untuk Keberlangsungan Alam
Kearifan lokal seperti Subak mengatur air dengan keadilan kosmologis, sementara bendungan raksasa sering memicu konflik sosial dan ekologis. Sasi menjaga laut melalui larangan adat untuk regenerasi, berbeda dengan perikanan industri yang mendorong overfishing berlebih. Tempat keramat berperan sebagai benteng alam melawan bencana, kontras dengan tata ruang modern yang menempatkan industri di zona rawan.
Jurang ini mencerminkan dua narasi bertabrakan: adat memupuk simbiosis mutualisme antara manusia dan alam, di mana larangan Sasi seperti relasi saling menguntungkan yang memungkinkan ikan berkembang biak. Sebaliknya, kebijakan modern sering jadi komensalisme egois, ketika hanya manusia untung, sedangkan alam merugi, sehingga daya dukung lingkungan runtuh seperti ekosistem tanpa predator.
Di Bali, Subak mengajarkan keselarasan Tri Hita Karana, sementara bendungan mengganggu alur sungai alami, memicu banjir hilir. Komparasi ini menggugat: mengapa kita abaikan adaptasi adat yang telah bertahan banjir dan longsor, demi pertumbuhan cepat yang meninggalkan kehampaan?
Narasi ekologis adat mengalir organik, sementara modern terasa dipaksakan, seperti cerita tanpa keseimbangan akhir.
Baca juga: Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal
Pembangunan Indonesia terperangkap mitos kemajuan, misalnya beton tol dan gedung pencakar langit, yang sebenarnya mengorbankan jiwa bumi. Hilangnya tempat keramat berarti hilangnya perisai ekologis bagi rakyat kecil, sementara keserakahan pengusaha menimbun longsor di balik keuntungan.
Ini bukan kemajuan, melainkan kekerasan terselubung yang merenggut martabat manusia sebagai penjaga alam. Paradigma ini seperti bencana klimaks dalam ekosistem: deforestasi sawit memicu longsor, perumahan di resapan membanjiri kampung, menciptakan ketidakadilan di mana rakyat miskin jadi mangsa pertama.
Kritik filsafat menyoroti bahwa pembangunan semu meninggalkan jejak kekeringan moral, di mana beton menggantikan akar pohon keramat yang menahan tanah. Pengusaha dan pemerintah, terbutakan mitos kemajuan, lupa bahwa alam bukan komoditas, tapi mitra hidup.
Akar masalahnya adalah pengingkaran etis struktural, di mana modernisasi menganggap adat sebagai hambatan, padahal justru itulah benteng terhadap kehancuran. Narasi ini menuntut refleksi: tanpa etika, kemajuan hanyalah ilusi yang runtuh saat bumi membalas.
Baca juga: Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim
Mengintegrasikan pengetahuan adat ke tata ruang, menjadikan tempat keramat kawasan lindung sejati, menyampaikan etika ekologis lewat pendidikan agar generasi muda tak terbutakan nafsu eksploitasi, memaksa pengusaha menjadikan keberlanjutan sebagai inti bisnis, dan bukan sekadar Corporate Social Responsibility (CSR) tak ada makna, serta menggerakkan masyarakat sipil untuk menyuarakan harmonisasi alam dan kehidupan, haruslah dilakukan secara terencana dengan mengingat bahwa hidup bukan untuk hari ini saja.
Bencana bukan takdir, melainkan panggilan alam, panggilan kehidupan mendatang, mengisyaratkan bahwa kita harus hidup selaras dengan alam, ataukah nanti bumi akan menuntut balik dengan kehancuran dahsyat.
Solusi filosofis ini meniru adaptasi ekosistem: pemerintah menciptakan regulasi yang menghormati tempat keramat sebagai area yang harus diperlakukan sebagai penanda ekologis, penanda banjir, dan menjadikan area pendidikan untuk membangun kesadaran seperti simbiosis generasi muda dengan alam.
Pengusaha harus bertransformasi dari "predator" menjadi mitra mutualisme melalui bisnis hijau, sementara masyarakat sipil jadi kekuatan klimaks yang dorong keseimbangan baru. Integrasi mutualisme akan mengalirkan narasi harapan, di mana pembangunan sejati lahir dari harmoni, bukan dominasi.
Dengan langkah ini, kita kembali memulihkan martabat agung manusia sebagai penjaga bumi, mengubah tragedi bencana menjadi kisah masa lalu untuk menyeimbangkan hidup baru dengan alam di masa depan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya