KOMPAS.com - Petani rumput laut di Indonesia dinilai masih terkendala modal awal yang tinggi untuk beralih ke budi daya ramah lingkungan.
"Untuk investasi awal itu dianggap mahal, sangat berat dirasakan oleh pembudidaya," ujar Direktur Rumput Laut Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Nono Hartanto dalam webinar, Selasa (16/13/2025).
Baca juga:
Kendala modal awal memaksa petani rumput laut untuk memilih botol plastik bekas sebagai pelampung, yang turut menyumbang sampah.
Botol plastik bekas yang digunakan para petani cenderung lebih murah dibanding pelampung modern berbahan High Density Polyethylene (HDPE). Sebagai perbandingan, harga botol plastik bekas sekitar Rp 2.500, sedangkan harga pelampung berbahan HDPE sekitar Rp 12.000-Rp 13.000.
Padahal pelampung HDPE sebenarnya lebih awet dan bisa dipakai berulang kali hingga di atas 10 tahun, sedangkan botol plastik bekas hanya bisa dipakai selama tiga sampai empat bulan saja.
Dalam jangka panjang, pelampung berbahan HDPE sesungguhnya lebih murah daripada botol plastik bekas.
Untuk mempromosikan budi daya rumput laut ramah lingkungan, diperlukan skema pembiayaan untuk pembudidaya berskala kecil agar dapat membeli pelampung berbahan HDPE.
Baca juga:
Ilustrasi petani rumput laut. Petani rumput laut di Indonesia masih kesulitan beralih ke budi daya ramah lingkungan karena tingginya modal.Pembudidaya rumput laut berskala kecil perlu dapat mengakses bibit rumput laut yang unggul dan adaptif terhadap krisis iklim.
Bibit tersebut bukan sekadar mampu meningkatkan produktivitas rumput laut, tapi bisa pula bertahan kenaikan suhu muka air laut.
Kebun bibit rumput laut tersebut harus tersebar sentra-sentra budi daya di berbagai wilayah di Indonesia.
Nono mengklaim KKP sebenarnya sudah siap mendukung pembudidaya berskala kecil dengan kebun bibit unggul yang sudah diseleksi agar tahan terhadap kenaikan suhu muka air laut. Namun, KKP mengalami permasalahan keterbatasan dalam menyalurkan bibit rumput laut tersebut.
"Harus ada yang ngopenin. Karena kami terbatas, pegawai kami di UPT cuma 70-an orang, tapi yang kerja di rumput laut, misalnya lima orang. Jadi, tidak mungkin untuk bisa men-support (mendukung) kebutuhan bibit sampai sekian ribu ton, ya," tutur Nono.
Petani rumput laut di Indonesia masih kesulitan beralih ke budi daya ramah lingkungan karena tingginya modal.Pengembangan kebun bibit rumput laut di Indonesia dinilai masih terpusat. Maka dari itu, pemerintah daerah perlu memiliki kebun bibit rumput laut sendiri di sentra-sentra budi dayanya.
Berkaca dari pengalaman berkolaborasi dengan pihak swasta, kata Nono, bibit rumput laut milik KKP menghasilkan panen yang bagus.
"Beda cara menyediakan bibit rumput laut dengan bibit padi. Kalau bibit padi disimpan dalam bentuk gabah, begitu musim tanam tiba, tinggal disemai, jadilah bibit, tapi kalau rumput laut disimpan di tempat budidayanya, ya. Jadi kalau musimnya berpengaruh, maka akan berpengaruh juga pada stok bibit. Nah, ini jadi persoalan juga, artinya harus dipilih bibit apa, wilayah yang memang cocok untuk bibit," jelas dia.
Di sisi lain, perlu penguatan kelembagaan kelompok pembudidaya rumput laut berskala kecil. Kemudian, juga harus ada pembinaan secara rutin oleh penyuluh. Penyusunan Prosedur Operasional Standar (SOP) menjadi kunci untuk menjaga mutu produk.
Selain dalam hal budi daya, pembinaan kepada kelompok pembudidaya rumput laut berskala kecil juga harus terkait sosialisasi pemanfaatan layanan keuangan dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya