KOMPAS.com - Studi yang dilakukan lembaga riset Oxford Martin, Inggris menemukan bahwa rumput laut, kacang-kacangan, hingga buah zaitun mampu menyerap emisi gas rumah kaca dari atmosfer.
Direktur Program Keberlanjutan Pangan Oxford Martin Joseph Poore mengatakan, makanan yang dapat mengurangi emisi itu disebut sebagai makanan karbon negatif.
“Memproduksi dan mengonsumsi lebih banyak makanan ini dapat membantu mengurangi dampak karbon dari makanan, dan dalam beberapa kasus, memulihkan ekosistem,” ungkap Poore dikutip dari BBC, Senin (6/1/2025).
Baca juga:
Poore menjelaskan, tanaman menyerap karbon dioksida dari udara ketika tumbuh. Namun, saat tanaman tersebut diolah oleh manusia ataupun hewan justru karbon dilepaskan kembali ke udara.
Menurutnya, rumput laut dan makroalga lainnya dapat menyerap karbon dioksida. Bagian-bagian rumput laut akan terlepas, lalu bergerak ke dasar laut dalam di mana sebagian karbon tersimpan.
Untuk memastikan rumput laut menjadi makanan karbon negatif, rantai pasokannya harus efisien dengan meminimalkan transportasi maupun pengemasan.
“Pengambilan ini (karbon) relatif kecil per kilogram rumput laut, jadi agar makanan berbahan dasar rumput laut menjadi karbon negatif, rantai pasokannya harus sangat efisien karbon dengan transportasi, pengemasan, dan pemrosesan yang minimal,” kata Poore.
Dia menyebut, rumput laut lokal berpotensi menjadi karbon negatif meskipun masih minim. Poore mengatakan, penjualan tumbuhan ini dapat memberikan insentif untuk memulihkan wilayah hutan rumput laut yang telah hancur.
Ia menyampaikan, bluberi, cranberry, dan seledri merupakan tanaman yang subur di lahan gambut dan berpotensi menjadi karbon negatif. Kendati begitu, bluberi segar yang dikemas dalam plastik tak bisa menyerap karbon.
“Meskipun ada produk lahan gambut berkarbon negatif, produk tersebut sangat langka dan sulit ditemukan di toko-toko saat ini, tetapi ini adalah hal lain yang perlu diperhatikan,” ucap dia.
Baca juga: AS, China, dan India Penyumbang Emisi Karbon Terbesar dari Pariwisata
Kemudian, produk makanan dengan bakteri seperti bubuk protein atau pengganti daging kemungkinan besar bersifat karbon negatif walaupun belum ada di pasaran saat ini.
“Pada 2023, Finnish Solar Foods meluncurkan es krim di Singapura yang mengandung protein yang terbuat dari jenis bakteri yang berbeda yang menunjukkan bahwa pasar untuk produk makanan bakteri mungkin ada,” tutur Poore.
Ia menerangkan bahwa bakteri pengoksidasi metana merupakan sekelompok bakteri yang ditemukan di beberapa lingkungan berbeda yang mengonsumsi metana untuk mendapatkan energi.
Metana adalah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan 30 kali lebih banyak, daripada karbon dioksida dalam jangka waktu 100 tahun.
“Jika kita memakan bakteri ini, kita akan memetabolisme mereka, melepaskan karbon dioksida. Oleh karena itu, memakan produk yang mengandung bakteri ini akan mengubah gas rumah kaca yang kuat menjadi gas yang jauh lebih lemah,” jelas Poore.
Terakhir, kacang, buah zaitun, dan jeruk dapat membantu menurunkan emisi. Poore berkata, selama 20 tahun ke belakang luas lahan pohon kacang telah berlipat ganda.
Dengan memperhitungkan seluruh rantai pasokan, produk kacang memangkas sekitar 1,3 kilogram karbon dioksida per kilogramnya.
Baca juga: China Diprediksi Akan Capai Emisi Karbon Tertinggi pada 2025
Jika pohon digunakan untuk membuat produk kayu yang tahan lama di akhir masa pakainya, karbon dapat tersimpan lebih lama.
“Namun, untuk makanan beremisi tinggi, seperti daging sapi, penelitian telah menemukan bahwa praktik regeneratif tidak mungkin mencapai karbon negatif. Beberapa praktik regeneratif dapat meningkatkan emisi di tempat lain,” papar Poore.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya