Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tebat Rasau, Lahan Basah Purba di Belitung Timur

Kompas.com - 09/09/2023, 14:19 WIB
Heru Dahnur ,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BELITUNG, KOMPAS.com - Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, memiliki sebuah kawasan rawa purba yang dinamakan Tebat Rasau.

Lahan basah tersebut merupakan salah satu dari 17 situs warisan dunia di Belitong Geopark yang diakui UNESCO Global Geopark.

Tebat Rasau berlokasi di Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang. Jarak tempuh dari Bandara Hanandjoeddin, Tanjungpandan, Belitung sekitar 46 kilometer atau 50 menit perjalanan menggunakan minibus.

Nama Tebat Rasau berasal dari bahasa daerah setempat yakni tebat dan rasau. Tebat diartikan sebagai genangan air dan rasau merupakan nama salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di rawa.

Baca juga: Krisis Iklim dan Isu Lingkungan Kurang Diulas Media Daring

Sebagai salah satu warisan dunia, Tebat Rasau terus dibenahi. Saat ini sudah ada jembatan kayu untuk melintasi sebagian kawasan rawa.

Kemudian ada bangunan sekretariat relawan yang sehari-hari menjaga dan melakukan pengamatan di Tebat Rasau.

Berbagai jenis ikan

Lahan Tebat Rasau diperkirakan seluas 8,040 hektar dengan 132 jenis ikan. Maka tidak mengherankan kalau Tebat Rasau juga menjadi sumber mata pencaharian ratusan nelayan.

Kawasan Tebat Rasau sempat terancam dengan adanya perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI). Komunitas masyarakat konsisten memperjuangkan agar Tebat Rasau dikeluarkan dari HTI sekaligus menjadi syarat ditetapkannya geosite warisan dunia.

Baca juga: Masyarakat Sangat Peduli Lingkungan, Capres Dituntut Beberkan Strategi Krisis Iklim

Dikutip dari Belitonggeopark.net, rawa purba ini merupakan rawa aluvial yang ditandai dengan melimpahnya Pandanus helicopus, flora yang berkembang dengan baik pada kondisi pasang surut, bebas air payau dan pH konsisten 5,5, serta berbagai jenis alga dan ikan.

Tebat Rasau merupakan rumah bagi ikan arwana hias (seleropages formosus), ikan ampong (channa marulius), dan ikan buntal bintik hijau (tetraodon nigroviridis).

Penemuan ikan arwana perak (osteoglossumbicir-rhosum) dan ikan ampong (channamarulius) yang tidak dapat ditemukan di Belitung bagian barat menunjukkan adanya fenomena biogeografis yang terjadi sejak Zaman Es ketika Belitung dan laut di sekitarnya masih berupa daratan, bagian dari Sundalandia.

Pada zaman Sundaland, sungai-sungai di Belitung bagian timur utara diperkirakan mengalir ke utara dan bertemu dengan sungai-sungai lain dari Kalimantan dan Sumatera Timur dan akhirnya bermuara ke Laut Cina Selatan.

Baca juga: Dibuang Sayang, Yuk Bikin Kerajinan Tangan dari Botol Plastik untuk Selamatkan Lingkungan

Sedangkan sungai-sungai di Belitung Barat Daya diperkirakan menyatu dengan sungai-sungai dari Pulau Jawa dan Sumatera bagian selatan yang mengalir ke arah tenggara dan bermuara di Selat Lombok.

Rawa Kenozoikum Tebat Rasau merupakan catatan terjadinya keretakan yang meluas di Sundalandia pada pertengahan era Kenozoikum.

Perpecahan yang meluas ini menyebabkan terbentuknya rawa planar dan dikenal sebagai rawa reotropik.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com