Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eki Baihaki
Dosen

Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad); Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas). Ketua Citarum Institute; Pengurus ICMI Orwil Jawa Barat, Perhumas Bandung, ISKI Jabar, dan Aspikom Jabar.

kolom

Berharap Capres-Cawapres 2024 Jadi Advokator Sungai

Kompas.com - 15/12/2023, 12:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTANYAAN mendasar kenapa sungai perlu diadvokasi? Advokasi dibutuhkan untuk mendapatkan komitmen kuat dari para pihak terkait.

Utamanya presiden yang memiliki political will dan arah kebijakan yang akan mewarnai langkah besar merawat sungai di Indonesia yang kondisinya hampir semuanya masih tercemar.

Perpres 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum adalah contoh kebijakan presiden yang mampu menghijrahkan Sungai Citarum dari tercemar berat ke tercemar ringan.

Sungai yang memiliki nilai vital dan strategis bagi kehidupan manusia perlu menjadi perhatian serius. Kerusakan lingkungan saat ini adalah ancaman negara yang nyata, perlu mendapatkan perhatian serius kita semua, utamanya dari Capres-Cawapres 2024.

Terkonfirmasi dari hasil Ekspedisi Sungai Nusantara tim Ecoton Foundation, sejak Maret hingga Desember 2022, setidaknya 90,7 persen sungai di Indonesia saat ini masih tercemar.

Disimpulkan, temuan itu menjadi bukti bahwa pemerintah masih belum serius, bahkan mengabaikan pengelolaan sungai-sungai Indonesia.

Data lainnya dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, hanya sembilan sungai di Indonesia yang memenuhi kualitas baku mutu atau 8,2 persen dari 110 sungai yang diidentifikasi. Artinya 91,8 persen masih tercemar dengan beragam kualifikasinya.

Kita perlu belajar dari negara Mesir, dalam memelihara sungai Nil yang tetap terpelihara baik hingga saat ini. Di antaranya berkat adanya pranata nilai masyarakat yang didukung instrumen hukum efektif. Sekalipun terhadap publik figur.

Meski hanya melakukan pencemaran verbal terhadap sungai, seorang penyanyi terkenal Mesir diberi hukuman pidana yang mampu membuat efek jera, apalagi melakukan pencemaran secara nyata.

Pengadilan Etika Moqattam, Kairo telah menghukum penyanyi tersohor Mesir, Sherine Abdel Wahab enam bulan penjara atas tuduhan “menghina Mesir” pada Selasa (27/2/2018).

Dia juga harus membayar denda sebesar 10.000 pound Mesir (sekiar Rp 7,8 juta) ditambah uang jaminan sebesar 5.000 pound (sekitar Rp 3,9 juta).

Kasusnya berawal pada November 2017, saat video dari konser Sherine di Sharjah, beredar viral di media sosial. Dalam video tersebut sang penyanyi diminta untuk membawakan lagu yang berjudul Mashrebtesh Men Nilha? “Sudahkah Kau Minum Air dari Sungai Nil?”

Kala itu Sherine menjawab permintaan penonton sambil berkelakar. “Jangan, nanti kau kena bilharzia. Minum Evian, itu lebih baik!” jawab Sherine sambil menyebut merek air kemasan dan nama demam yang disebabkan oleh parasit yang hidup di air, bilharzia.

Majelis Umum Persatuan Profesi Musikal Mesir turut membenci perkataanya dan menskors penyanyi ini untuk tidak diperbolehkan menyanyi dan tampil di Mesir untuk dua bulan, hingga 14 Januari 2018.

Sementara fenomena kontradiktif terjadi di kita, yang tidak hanya sekadar menghina verbal, bahkan membuang limbah kotoran sampah domestik dan industri hingga limbah berbahaya, belum dianggap kejahatan serius.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com