KOMPAS.com - Para ilmuwan di Swiss telah menemukan cara untuk membuat cokelat lebih sehat dan berkelanjutan.
Biasanya, hanya biji kakao dan pulpa yang diekstraksi untuk cokelat batangan. Namun, buah kakao sendiri ternyata mengandung bahan-bahan berharga lainnya yang selama ini kurang dimanfaatkan.
Kini, para peneliti di lembaga teknologi federal ETH Zurich telah menemukan bahwa kulit buah kakao juga dapat digunakan sebagai pengganti gula pasir.
Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan endokarp, lapisan dalam kulit buah dan mencampurnya dengan sebagian pulpa yang mengelilingi biji untuk membuat jeli kakao yang manis.
"Petani tidak hanya dapat menjual biji, tetapi juga mengeringkan jus dari pulpa dan endokarp, menggilingnya menjadi bubuk dan menjualnya juga," jelas Kim Mishra, penulis utama studi ini.
Baca juga: Kotoran Sapi Alternatif Hidrogen yang Berkelanjutan
"Ini akan memungkinkan mereka untuk menghasilkan pendapatan dari tiga sumber serta menciptakan nilai pendapatan buah kakao yang lebih besar dan membuatnya lebih berkelanjutan," kata Mishra.
Seperti dikutip dari Euronews, Selasa (3/9/2024) peneliti menyebut siklus hidup dari awal hingga akhir produksi menunjukkan bahwa produksi cokelat dengan metode baru ini dapat mengurangi penggunaan lahan dan potensi pemanasan global dibandingkan produksi cokelat pada umumnya.
Perubahan penggunaan lahan akibat pertanian diketahui bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen dampak lingkungan untuk semua cokelat.
Jadi dengan menggunakan lebih sedikit biji kakao akan lebih sedikit lahan yang digunakan dan dampak pertanian yang lebih rendah juga.
Lebih lanjut, metode baru pengolahan cokelat ini memang memerlukan lebih banyak pemrosesan daripada cokelat batangan pada umumnya.
Namun secara keseluruhan, kreasi cokelat yang dihasilkan memiliki jejak karbon yang lebih rendah saat ditingkatkan skalanya.
Baca juga: Budi Daya Udang Berkelanjutan Lebih Produktif, Percepat Siklus Panen
Formulasi baru ini juga lebih ramah lingkungan dalam hal lain, karena menggunakan bagian dari buah kakao yang seharusnya terbuang sia-sia.
Kulit yang tersisa secara tradisional hanya digunakan sebagai bahan bakar atau bahan pengomposan.
Namun, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh sebelum bentuk cokelat yang lebih hemat ini hadir di pasaran.
“Meskipun kami telah menunjukkan bahwa cokelat kami menarik dan memiliki pengalaman sensorik yang sebanding dengan cokelat biasa, seluruh rantai penciptaan nilai perlu disesuaikan, dimulai dari petani kakao yang akan membutuhkan fasilitas pengeringan,” kata Mishra.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya