Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Ada Jaminan Deforestasi, Indonesia Berisiko Gagal Capai Target NZE 2060

Kompas.com, 21 Oktober 2025, 08:06 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Target puncak emisi gas rumah kaca (GRK) atau peak emission Indonesia dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) mundur dari awalnya tahun 2030, menjadi pada 2035.

Puncak emisi merupakan titik saat total emisi GRK suatu negara mencapai level tertinggi sebelum akhirnya menurun.

Baca juga: Transisi Energi Barang Siapa Sih? IESR Minta Presiden Tunjuk Komandonya

Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa khawatir, pengunduran target peak emission berdampak pada tidak tercapainya emisi nol bersih (net zero emission/NZE) di tahun 2060 atau lebih awal.

Apalagi, emisi GRK di Indonesia berasal dari berbagai sektor, dari energi, hutan dan lahan, pertanian, sampai sampah.

Untuk mencapai target Perjanjian Paris, emisi Indonesia harus mencapai puncaknya pada 2030 dan menurun secara signifikan di tahun 2050.

"Karena (emisi mencapai) puncak itu belum tentu langsung turun. Bisa saja datar, terus baru turun. Kalau puncaknya semakin lama, menurunkannya untuk turun dengan cepat itu lebih mahal biayanya. Kalau biayanya lebih mahal, kerumitannya lebih tinggi, kemungkinan kita tidak bisa mewujudkannya. Itu kenapa harus puncak emisi secepatnya," ujar Fabby di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Menurut Fabby, sektor hutan dan lahan, serta energi harus bisa mencapai NZE lebih awal dari target di tahun 2060. Bahkan, sektor energi di Indonesia harus dapat mencapai NZE pada 2050. Sedangkan pembangkit listrik, industri, dan transportasi setidaknya bisa mencapai NZE sekitar tahun 2050-an.

Dalam skenario mencapai target NZE di tahun 2060, Indonesia berupaya menghilangkan sisa emisi dengan mengandalkan ekosistem hutan dan laut sebagai penyerap karbon. Padahal, mengandalkan ekosistem hutan dan laut untuk menghilangkan sisa emisi merupakan skenario yang sangat berisiko.

"Karena penyerapan karbon dari hutan itu tidak setinggi yang diklaim, seperti hasil perhitungan terbaru karbon di hutan Australia. Itu harus dihitung, benarkah kalau kapasitas hutan di Indonesia memang bisa menyerap karbon (dalam jumlah besar)?," tutur Fabby.

Berkaca dari sejarah, kata dia, tidak ada yang bisa menjamin hutan dan lahan di Indonesia tidak mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon akibat deforestasi.

"Ini yang hutan namanya, hutan itu siapa yang menjamin, ya, tidak terjadi deforestasi? Pengalaman Indonesia tuh udah kelihatan banget, loh. Misalnya ada moratorium, sebelumnya moratorium sawit ya, tapi lihat luasan sawit tetap juga. Kemudian, buka (hutan) di Merauke untuk food estate, 2 juta hektar. Ya, nanti ada presiden baru, wah, saya mau buka hutan, siapa yang dijamin?," ucapnya.

Baca juga: IESR Dukung Target 100 Persen Listrik EBT Prabowo, Ingatkan Perlu Peta Jalan Konkret

Maka dari itu, Indonesia perlu lebih ambisius dalam menetapkan target penurunan emisi dalam Second NDC. Sebaiknya, kata dia, target pencapaian NZE perlu lebih cepat, mengingat berbagai risiko jika terus diundur.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, dalam skenario puncak emisi pada 2035, sektor kehutahan diwajibkan menurunkan emisi GRK hampir 300 juta ton CO2. Ironisnya, sektor kehutanan saat ini masih menghasilkan emisi GRK.

"Hari ini saja sektor kehutanan masih plus. Hari ini sektor kehutanan belum ada tanda-tanda melampaui batas nol. Di (tahun) 2035, itu sudah skenario paling dramatis yang kita lakukan,"tutur Hanif, Kamis (28/8/2025).

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Refleksi Filsafat Ekologis, Tempat Keramat dan Etika Lingkungan
Pemerintah
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
RI Sulit Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Jika Andalkan Sektor Pertanian
LSM/Figur
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
DAMRI Jalankan 286 Bus Listrik, Potensi Kurangi 72.000 Ton Emisi per Tahun
BUMN
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Miangas hingga Wamena, FiberStar Genjot Akselerasi Digital di Wilayah 3T
Swasta
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pelaku Bisnis Luncurkan Program Sertifikasi Produksi Kaca Rendah Karbon
Pemerintah
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
Perubahan Iklim Diprediksi Tekan Pendapatan Dunia hingga 17 Persen
LSM/Figur
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
ISSB Usulkan Pelaporan Emisi Metana Scope 1 untuk Perusahaan Energi
LSM/Figur
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau