JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap krisis iklim, terutama bencana banjir dan panas yang ekstrem.
Selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 bencana, sekitar 90 persen di antaranya bencana hidrometeorologi.
Sementara menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tren bencana hidrometeorologi Indonesia telah mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir.
Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Oleh karena itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mendesak Pemerintah Indonesia harus segera mengambil aksi nyata ambisius.
"Kita masih punya peluang jika kita melakukan aksi iklim yang ambisius. Di antaranya dengan percepatan transisi energi," ujar Adila seperti dikutip Kompas.com, dari laman Greenpeace Indonesia, Rabu (22/3/2023).
Baca juga: Pro Kontra Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir untuk Kesinambungan Ketahanan Energi Nasional
Menurut Adila, bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan krisis iklim itu nyata, dan dampaknya semakin masif.
Mengutip Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) yang merilis laporan teranyar AR6 Synthesis Report mengenai situasi iklim terkini, Senin (20/3/2023), disebutkan bahwa krisis iklim yang disebabkan oleh manusia (human-caused climate change) telah terjadi secara cepat.
Bahkan, meningkatkan intensitas dan frekuensi terjadinya cuaca ekstrem di setiap wilayah dunia, di antaranya gelombang panas yang semakin intens, hujan lebat, kekeringan, hingga siklon tropis.
Saat ini, kenaikan temperatur Bumi telah mencapai 1.1°C dan menuju pada kenaikan temperatur global rata-rata pada 2.8°C pada tahun 2100 berdasarkan komitmen negara-negara di dalam Nationally Determined Contributions (NDC).
Angka ini hampir dua kali lipat dari target 1.5°C yang tertuang dalam Paris Agreement, yaitu batas aman bagi Bumi untuk pemanasan global.
“Hal ini menandakan bahwa upaya yang dilakukan oleh negara-negara belum cukup dan akan membawa dunia menuju climate catastrophe yang lebih parah,” kata Adila.
Namun di sisi lain, AR6 Synthesis Report juga menyatakan masih mungkin untuk mencapai target 1.5°C pada tahun 2100 dengan melakukan segala upaya mitigasi yang ambisius untuk mengurangi emisi sebesar 50 persen pada 2030 dan mencapai nol emisi tahun 2050.
Percepatan transisi energi
Merujuk AR6 Synthesis Report, transisi energi dari energi fosil ke energi matahari dan angin akan menguntungkan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya