KOMPAS.com – Setiap aktivitas manusia menghasilkan produk buangan berupa sampah. Sampah yang dihasilkan bisa berupa sampah organik atau nonorganik.
Di rumah tangga, sampah organik seperti sisa-sisa makanan, kulit buah, sayur-sayuran yang tidak terpakai, buah atau sayuran yang sudah membusuk, dan lain sebagainya.
Sampah adalah salah satu permasalahan yang cukup menantang dan menjadi salah satu pencemar lingkungan bila tidak dikelola dengan baik.
Baca juga: Dua Pilihan bagi Pemda Kelola Sampah, Salah Satunya Hasilkan Cuan
Dilansir dari Waste4Change, pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa 60 persen dari total sampah yang dihasilkan adalah sampah organik.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2021, sampah rumah tangga adalah penyumbang terbesar dengan persentase 40,85 persen.
Itu berarti, sampah yang ada di Indonesia paling banyak berasal dari rumah kita sendiri. Maka, sudah seyogyanya kita dan keluarga mengurangi atau mengolah sampah sendiri.
Lantas, bagaimana kita bisa berkontribusi mengurangi sampah? Salah satunya adalah mengolah sampah organik dari rumah.
Sampah organik dari rumah bisa diolah menjadi hal yang bermanfaat bahkan bisa memiliki nilai ekonomis dan dapat dipakai memasak bisa ditangani dengan tepat.
Berikut empat tips mengolah sampah organik dari rumah.
Baca juga: Lebih Jauh dengan TPS3R, Teknologi Pengolah Sampah Ramah Lingkungan
Selain sisa-sisa makanan, sampah organik dari rumah tangga bisa berupa dedaunan, rerumputan, atau sampah lain yang bisa membusuk secara alami.
Sampah-sampah organik dari rumah ini bisa diolah menjadi pupuk kompos yang bisa dipakai untuk menyuburkan tanaman kita atau bisa dijual yang tentu memiliki nilai ekonomis.
Cara mengolahnya cukup mudah. Pertama adalah kumpulkan sampah organik yang ada di dalam satu wadah kemudian cacah menjadi berukuran kecil.
Setelah itu, larutkan larutan dekomposer EM4 dengan air molase dengan takaran satu tutup larutan dekomposer EM4 dan molase di dalam 5 liter air. Aduk sampai merata.
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, siramkan larutan dekomposer ke dalam cacahan sampah organik, aduk sampai merata, tutup wadah dengan rapat. Aduk seminggu sekali supaya aliran udara dalam wadah selalu terjaga.
Proses pengomposan akan berlangsung selama tujuh hingga delapan pekan. Selama proses, suhu akan naik. Ini petanda baik karena mikroorganisme sedang bekerja.
Pengomposan sudah selesai apabila suhu dalam wadah sudah normal kembail dan pupuk kompos siap digunakan.
Baca juga: TPA Sampah Ramah Lingkungan Dibangun di Sarolangun Jambi
Sampah organik juga bisa menjadi sumber resapan air guna menangkal banjir atau genangan saat hujan datang. Pengolahan ini cocok dilakukan di kawasan rawan banjir.
Metode menjadikan sampah sebagai resapan adalah dengan cara membuat lubang biopori, sebagaimana dilansir Waste4Change.
Caranya cukup sederhana yaitu melubangi tanah dengan kedalaman sekitar 1 meter dan diameter 30 sentimeter (cm) hingga 40 cm.
Setelah itu, masukkan pipa PVC seukuran diameter lubang. Isi lubang biopori dengan sampah organik rumahan. Kemudian tutup lubang dengan kawat besi.
Tidak hanya satu, lubang biopori bisa dibuat di beberapa tempat dan diisi dengan sampah organik lainnya.
Sampah organik di dalam biopori bisa berubah menjadi kompos selama tiga bulan. Setelah tiga bulan, ambil kompos yang sudah jadi kemudian isi ulang lubang biopori.
Lubang biopori juga merupakan langkah praktis mengolah sampah organik tanpa butuh perhatian yang intensif.
Selain efektif untuk mengelola sampah organik, lubang biopori juga bermanfaat memberi nutrisi bagi tanah yang ada di dalamnya dan sebagai resapan untuk menghindari banjir atau genangan air.
Baca juga: Perbedaan Sampah Organik dan Anorganik serta Cara Mengolahnya
Sampah organik bisa juga diolah menjadi eco enzyme yang berguna zebagai zat cairan serba guna yang juga bisa dipakai untuk pembersih rumah, contohnya membersihkan lantai, toilet, dapur dan sebagainya.
Akan tetapi, tidak semua sampah organik yang bisa dijadikan zat pembersih ramah lingkungan. Umumnya yang dipakai adalah sisa kulit buah, potongan sayur, atau ampas buah.
Sisa kulit buah dan potongan sayur dikumpulkan terlebih dulu kemudian difermentasikan dengan bahan campuran gula dan air.
Proses fermentasi ini membutuhkan waktu tiga bulan. Pada satu pekan pertama, tutup wadah perlu dibuka guna mengeluarkan gas yang ada di dalamnya.
Setelah tiga bulan, saring semua yang ada di dalam wadah tersebut dan ambil cairannya. Cairan ini yang disebut sebagai eco enzyme.
Baca juga: Pimpin Kampanye Daur Ulang, Danone Ingatkan Pengelolaan Sampah Plastik
Sampah organik bisa juga diolah menjadi gas yang bisa dipakai untuk memasak. Gas yang dihasilkan sampah organik adalah biogas berupa gas metana.
Langkah pertama adalah membangun reaktor atau digester yang dapat berupa permanen atau yang sederhana seperti tong bekas.
Setelah itu, kumpulkan sampah organik dan campur dengan air dengan takaran satu banding satu. Sebaiknya untuk adonan pertama dicampuri kotoran hewan karena relatif banyak menghasilkan mikroba.
Masukkan campuran sampah organik tersebut ke dalam reaktor atau digester. Proses produksi biogas akan berlangsung di dalam digester.
Sekitar tujuh sampai 10 hari, biogas sudah dihasilkan dan dapat digunakan untuk memasak, sebagaimana dilansir dari DBS.
Banyaknya gas metana yang dihasilkan tergantung dari komposisi campuran dan sampah organik yang digunakan, sebagaimana dilansir situs web Dana Mitra Lingkungan.
Reaktor atau digester harus terus diisi dengan campuran sampah organik secara berkala untuk menjaga proses produksi biogas.
Selain biogas, reaksi di dalam reaktor atau digester juga menghasilkan pupuk kompos cair dan pupuk kompos padat.
Meski membutuhkan tenaga dan waktu ekstra, pengolahan sampah organik dengan cara ini bisa menghasilkan tiga produk sekaligus yaitu gas untuk memasak, pupuk kompos cair, dan pupuk kompos padat.
Baca juga: Dua Sisi Sampah Anorganik, Manfaat dan Kerugian jika Tak Diolah dengan Baik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya