KOMPAS.com - Aparat penegak hukum dan sumber daya manusia (SDM) yang menangani kasus perempuan dan anak harus memiliki perspektif yang sensitif gender.
Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar sebagaimana dilansir Antara, Senin (19/6/2023).
Oleh karena itu, aparat penegak hukum dan SDM perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk menangani kasus perempuan dan anak.
Baca juga: Komitmen Jasa Marga Setarakan Gender, Dua Posisi Puncak Ditempati Perempuan
"Peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum (APH) dan SDM perlu ditingkatkan untuk memberikan perspektif korban," kata Nahar.
Selain itu, sistem pelayanan yang cepat, komprehensif, dan terintegrasi juga sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus-kasus terkait perempuan dan anak.
Sehingga, pembentukan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA dan TPPO) di Kepolisian RI (Polri) perlu segera dilakukan.
Nahar menuturkan, status direktorat yang mampu mengakomodasi omando secara vertikal dan horisontal ini patut diupayakan.
Baca juga: Mengenal Tujuan 5 SDGs: Kesetaraan Gender
Nahar juga menyampaikan beberapa upaya yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Upaya-upaya tersebut contohnya adalah sosialisasi mengenai modus-modus kekerasan termasuk TPPO kepada masyarakat dan penyelidikan dan penyidikan atas kasus TPPO sesuai standar operasional prosedur kepolisian.
Kementerian PPPA akan terus mengawal pembentukan Direktorat PPA dan TPPO bersama dengan Polri.
Dengan adanya direktorat tersebut, bahar berharap upaya penanganan kasus kekerasan, termasuk sinergi lintas sektor di tingkat pusat hingga daerah, mampu dilaksanakan dengan lebih efektif.
Baca juga: Banyak Perempuan Korban Pinjol Alami Kekerasan Berbasis Gender Online, Ini Upaya Pemerintah
Sebelumnya, Menteri PPPA Bintang Puspayoga saat berkunjung ke Palu, Sulawesi Tengah, menuturkan bahwa korban dan penyintas tindak pidana kekerasan seksual harus mendapat pendampingan, perlindungan, dan pemenuhan hak-haknya.
"Meskipun anak-anak ini merupakan korban dari kekerasan seksual, mereka merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki masa depan cerah untuk menggapai cita-cita," ucap Puspa, sebagaimana dilansir dari situs web Kementerian PPPA, Sabtu (10/6/2023).
"Pendekatan yang lebih intens dengan pihak-pihak terkait lainnya pun menjadi penting dalam memastikan hak-hak penyintas terpenuhi," sambungnya.
Di sisi lain, keberanian dari penyintas untuk menyuarakan dan melaporkan kejadian yang dialaminya juga perlu mendapat apresiasi.
Pasalnya, suara dari korban merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Baca juga: Angka Melek Huruf 96 Persen, Perpustakaan Didorong Arusutamakan Gender
Keberanian korban dan penyintas kekerasan seksual dalam bersuara dan melapor dapat mencegah berulangnya kejadian serupa dan memberikan efek jera bagi pelaku.
Selain itu, kehadiran psikolog klinis juga menjadi kunci penting dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak korban.
"Psikolog memiliki peranan penting dalam proses pemulihan agar korban tidak lagi trauma dan mampu kembali menjadi bagian dalam tataran kehidupan sosial," papar Puspa.
Puspa menyampaikan, Kementerian PPPA telah bekerjasama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dalam memberikan penguatan maupun pendampingan bagi sumber daya manusia yang terjun menangani korban.
Penguatan sumber daya manusia tersebut dimaksudkan agar mereka mampu menangani kompleksitas kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Harus Dapat Pendampingan dan Perlindungan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya