KOMPAS.com - Awal Juni, para ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS mengonfirmasi bahwa El Nino secara resmi telah dimulai.
El Nino, yang merupakan fenomena alam di mana permukaan air laut menjadi lebih hangat, kembali lagi setelah terjadi sekitar empat tahun lalu.
Fenomena El Nino kali ini dperkirakan akan lebih kuat dan berpotensi memengaruhi berbagai aspek mulai dari harga makanan yang meninggi hingga penjualan pakaian, sebagaimana dilansir CNN, Kamis (28/6/2023).
Baca juga: Waspada, El Nino Bisa Ancam Ketahanan Pangan
Dalam artikel penelitian berjudul Persistent effect of El Nino on global economic growth yang diterbitkan jurnal Science pada Mei 2023, ada hubungan mengenai hilangnya pendapatan global sebesar 5,7 triliun dollar AS akibat El Nino 1997 hingga 1998.
Selain itu, fenomena El Nino pada 1982 hingga 1983 juga memiliki hubungan terhadap kerugian global sebesar 4,1 triliun dollar AS.
Dalam penelitian tersebut, beberapa negara dapat merasakan pengaruh negatif dari El Nino beberapa tahun setelah fenomena tersebut.
Penulis pertama dari penelitian tersebut, Christopher Callahan, mengatakan bahwa cuaca ekstrem yang terjadi memiliki konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi yang negatif.
"Efek dari peristiwa ini bertahan lama, dan harganya jauh lebih mahal daripada yang kita pikirkan sebelumnya," kata Callahan.
Baca juga: El Nino Bikin Potensi Kebakaran Hutan Berlipatganda
El Nino, bagian adalah pola iklim alami yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut di atas dari rata-rata di Samudra Pasifik.
Menurut NOOA, fenomena El Nino terjadi setiap dua hingga tujuh tahun sekali.
Seorang profesor di University of Vermont yang mempelajari variabilitas dan perubahan iklim, Lesley-Ann Dupigny-Giroux, menuturkan bahwa El Nino dapat menyebabkan lebih banyak topan di Pasifik.
Dan, karena fenomena tersebut cukup rumit, El Nino juga juga dapat menekan aktivitas badai di Atlantik.
Jin-Yi Yu, seorang profesor ilmu atmosfer di University of California Irvine, mengatakan bahwa suatu pola atau siklus iklim biasanya juga menyebabkan pola cuaca yang tidak normal.
Baca juga: Jaringan Neural Diklaim Bisa Prediksi El Nino hingga 1,5 Tahun ke Depan
Callahan mengatakan, cuaca ekstrem yang terkait dengan El Nino dapat menyebabkan banjir, kebakaran hutan, angin topan, dan bencana alam lainnya.
Karena cuaca ekstrem terjadi, sektor pertanian bisa terganggu hingga hasil panenan berkurang. Akibatnya, harga makanan berpotensi melambung.
Harga pangan yang melambung adalah pembicaraan umum dari seluruh peristiwa El Nino, menurut laporan Deutsche Bank baru-baru ini.
Selain makanan dan pertanian, industri pakaian juga bisa kena getahnya. Penjualan pakaian untuk musim dingin bisa menurun.
Simeon Siegel, seorang analis analis di BMO Capital Markets, mengatakan bahwa perubahan cuaca yang tidak terduga dapat berdampak negatif pada sektor retail.
Baca juga: Hadapi El Nino, Ditjen PSP Kementan Serahkan Bantuan untuk Petani di Lombok Barat
"Meskipun tidak ada peretail yang ingin menyalahkan cuaca karena muncul sebagai alasan, cuaca sangat penting bagi sebagian besar peretail, terutama pakaian jadi dan barang musiman," kata Siegel.
Dia menuturkan, peretail dan merek tidak hanya harus memperkirakan apa yang diinginkan konsumen, mereka juga perlu memprediksi fenomena alam.
"Jelas, untuk perusahaan yang menjual mantel, panggangan, furnitur luar ruangan, sweater, atau celana pendek, cuaca bisa menjadi pembeda antara perlu membeli mantel itu atau tidak,” tambahnya.
Sektor penerbangan dan pariwisata juga dapat merasakan sengatan El Nino.
Baca juga: Studi Baru: Tembok Berusia 1.000 Tahun di Peru Ternyata Dibangun untuk Menahan Banjir akibat El Nino
Dalam studi pada 2021 di jurnal Atmosphere, para peneliti menganalisis jumlah kunjungan ke 48 objek wisata alam di AS untuk menguji keinginan wisatawan berpiknik selama peristiwa El Nino.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fenomena El Nino menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kunjungan wisatawan.
El Nino juga cenderung memperkuat badai seperti badai yang terjadi di Samudra Pasifik, menurut Dupigny-Giroux.
"Terjadi 16 badai saat musim badai Pasifik masing-masing tahun 2014 dan 2015, jumlah gabungan tertinggi yang pernah tercatat," kata laporan Deutsche Bank.
Baca juga: Fenomena El Nino dan Peringatan WHO soal Peningkatan Penyebaran Penyakit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya