BANGKA, KOMPAS.com - Pesisir pantai Tanjung Punai di Desa Belo Laut, Mentok, Kepulauan Bangka Belitung, memiliki hamparan hutan mangrove seluas 1.988,7 hektar.
Hamparan mangrove tersebut disebut-sebut merupakan yang terluas di Kepulauan Bangka Belitung.
Di sana, hutan mangrove tidak hanya sebagai penahan abrasi, tapi sejak lama telah digunakan masyarakat sebagai lokasi budidaya kerang.
Peneliti Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Ardianeka mengatakan, mangrove Tanjung Punai merupakan perwujudan ekosistem alam yang mampu menjadi sumber ekonomi masyarakatnya.
Kawasan tersebut juga termasuk hutan lindung Pantai Tanjung Punai.
Baca juga: Dukung Konsep Blue Carbon, 5.000 Bibit Pohon Mangrove Ditanam di Bangka Tengah
"Pantai Tanjung Punai sangat tepat untuk dijadikan percontohan ekonomi blue carbon. Ini harus menjadi perhatian bersama karena selain menjaga ekosistem mangrove juga ada pendapatan untuk perekonomian masyarakat," kata Eka kepada Kompas.com, Minggu (30/7/2023).
Eka menuturkan, kawasan hutan mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap emisi karbon lebih baik melalui proses fotosintesis.
Namun potensi tersebut belum mendapatkan hitungan kalkulasi ekonomi. Padahal, program pengurangan emisi karbon tidak hanya menjadi kepentingan Nasional tapi juga dunia.
"Kompensasi serapan emisi ini seharusnya sudah bisa dinikmati masyarakat sebagai penjaga kawasan hutan mangrove," ujar Eka.
Menurut Eka, harga karbon Indonesia berada di kisaran Rp 30.000 per ton atau sekitar 5 sampai 10 dolar AS untuk Asia Tenggara.
Baca juga: Mandiri Sekuritas Tanam 1.001 Mangrove
Jika dikalikan dengan luasan mangrove di Tanjung Punai, maka nilai ekonomi blue carbon bisa mencapai Rp 104,8 miliar per tahun.
"Kalau ditambah dengan potensi komoditas lainnya seperti mete, kerang, belangkas dan UMKM, maka nilainya bisa mencapai Rp 582,8 miliar per tahun," ujar Eka yang juga mendalami ilmu Geologi.
Pendapatan ekonomi dari blue carbon, kata Eka, bisa menjadi modal masyarakat dalam menghadapi ekonomi pasca-tambang timah.
Bahkan, juga bisa membiayai sektor dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Namun hingga saat ini, belum terealisasi karena belum adanya kesepakatan dan kebijakan pembiayaannya.
Sementara itu, salah satu pembudidaya kerang darah atau anadara granosa Tanjung Punai bernama Iput (33) mengatakan, modal uang menjadi kendala utama dalam proses budidaya.
Sebab bibit kerang harus didatangkan dari luar daerah dengan harga mencapai Rp 3,3 juta per ton.
Setiap pembudidaya lazimnya membutuhkan minimal satu ton bibit untuk sekali budidaya.
Baca juga: Usung Semangat Tumbuh Bersama, Danamon Tanam 10.000 Mangrove di Pantai Tirang
"Kami sekarang masih mengumpul modal dulu sekaligus menunggu musim tebar benih kira-kira bulan dua," ujar Iput.
Karena tidak bisa mengandalkan mata pencarian sepenuhnya di sektor budidaya, maka suami Iput, Budi, sehari-hari bekerja sebagai buruh di kebun sawit.
Mereka hanya melakukan budidaya saat musim datang, itu pun jika ada modal.
"Dengan satu ton bibit, kami bisa dapatkan kerang dewasa sekitar tiga bulan kemudian, dengan harga jual Rp 20.000 per kilogram. Rata-rata kalau musim panen bisa dapat 1,3 ton," ujar Iput.
Baca juga: Eksistensi Mangrove Sangat Penting Melawan Perubahan Iklim
Selama budidaya, pengelola hanya butuh jaring waring sebagai pagar dan pemerataan agar kerang tidak menumpuk di satu titik.
"Perairan mangrove itu sudah banyak makanannya, kerang tidak perlu lagi diberi makanan tambahan," tuntas Iput.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya