Petani, nelayan, pekerja lapangan dan penghuni kawasan kutub serta pesisir dihantui gagal panen, abrasi, es mencair dan gelombang panas. Gagal panen akibat perubahan dan krisis iklim menambah parah bencana kelaparan.
Indonesia menerjemahkan kesepakatan itu dengan membuat program FOLU net sink 2030. FOLU net sink adalah emisi negatif di sektor kehutanan dan penggunaan lahan.
Semua program itu adalah mitigasi perubahan iklim, yakni mengurangi produksi emisi gas rumah kaca untuk mencegah pemanasan global 1,5 derajat celcius pada 2030 dan 2 derajat celcius pada 2050.
Dalam Peraturan Presiden no. 98/2021 tentang Penyelengaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional, mitigasi perubahan iklim diartikan sebagai usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dan penyimpanan/penguatan cadangan karbon dari berbagai sumber emisi.
Melihat konstelasi, suhu mendidih yang disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Gutteres, Kamis (27/7/2023), yang merupakan ancaman sangat serius akibat bencana iklim, nampaknya kegiatan mitigasi perubahan iklim belum dianggap cukup, karena harus dilakukan serentak dan bersama-sama dilakukan oleh negara-negara didunia.
Oleh karena itu, wajar apabila Kompas menulis bahwa adaptasi perubahan iklim paling relevan dan masuk akan untuk dilakukan termasuk Indonesia. Syukur-syukur dapat dilakukan secara simultan antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Adaptasi perubahan iklim diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian ekstrem sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Kapasitas adaptasi perubahan iklim Indonesia akan diuji dengan kemampuan kita untuk menyesuaikan dan menghadapi dampak fenomena El Nino yang melanda Indonesia yang membawa kekeringan berkepanjangan hingga akhir 2023.
Menurut BMKG, puncak tertinggi kekeringan akibat El Nino akan terjadi pada Agustus hingga September 2023.
Dampaknya mulai terasa, di sana-sini masyarakat mulai kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah baru-baru ini dikabarkan enam orang meninggal dunia akibat kelaparan yang melanda tiga distrik sebagai dampak dari El Nino (bencana kekeringan).
Sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga didunia (120,3 juta hektar) setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia mempunyai kontribusi sangat besar dalam mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim sepanjang dalam pembangunannya mampu menjaga kelestarian lingkungannya, termasuk meminimalkan terjadinya laju deforestasi hutan tropisnya sebagai paru-paru dunia.
Dekarbonisasi yang digagas PBB tidak akan terwujud apabila semua negara tidak mempunyai tekad yang sama dalam menurunkan emisi GRK secepatnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya