KOMPAS.com – Di tepi Sungai Efrat di utara Suriah, tanah tandus nan gersang terhampar memilukan. Batang-batang pohon sisa penebangan menyembul dari tanah yang kering dan rapuh.
12 tahun sudah negara tersebut diguncang perang saudara, jutaan orang terjebak dalam kemiskinan ekstrem. Lemahnya pengawasan negara dan konflik membuat pembalakan liar menjadi-jadi.
Hutan dan pepohonan hijau yang dulu lebat di tepi Sungai Efrat kini berubah jadi padang tandus. Kondisi tersebut diperparah dengan perubahan iklim dan sejumlah faktor lainnya.
Baca juga: Lestarikan Orangutan Berarti Turut Selamatkan Hutan
Ahmed al-Sheikh (40), pemilik toko di Desa Jaabar, Provinsi Raqa, Suriah, menyampaikan bahwa hutan di tepi Sungai Efrat menyusut setiap tahunnya.
Ahmed menuturkan, pemandangan di daerah tersebut dulunya sangat indah dan menarik wisatawan datang untuk berpelesir sekaligus menyejukkan udara sekitar.
Akan tetapi, semua berubah ketika perang saudara pecah. Kemiskinan merajalela dan membuat orang-orang menebang pohon untuk dijual atau dibakar sebagai penghangat kala musim dingin yang menusuk kulit.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Kebakaran Hutan di Eropa Makin Ganas
“Beberapa orang menebang pohon untuk dijual dan mendapatkan uang, yang lain untuk tetap hangat selama musim dingin. Jika ini terus berlanjut, penggurunan akan terjadi,” ucap Ahmed, sebagaimana dilansir AFP.
Sejumlah penduduk mengatakan kepada AFP, mereka mendengar para penebang mengendarai sepeda motor ke hutan pada malam hari untuk menebang pohon.
Bahkan di siang bolong, beberapa pemuda nekat menyelinap ke dalam hutan untuk menebang pohon, menghindari segelintir penjaga hutan yang berpatroli di ruang hijau yang luas.
Baca juga: 12 Negara Termasuk Indonesia Desak Negara Kaya Beri Uang Pelestarian Hutan
Perang saudara di Suriah telah menewaskan lebih dari 500.000 jiwa dan menelantarkan jutaan lainnya.
Perang juga telah menghancurkan lingkungan serta menghilangkan tutupan hutan dengan skala yang mengkhawatirkan di seluruh negeri.
Menurut data dari Global Forest Watch, Suriah mengalami penurunan luas tutupan hutan sebesar 26 persen sejak 2000.
Sekitar 10 kilometer (km) dari Jaabar, nasib yang sama menimpa hutan Tuwayhina.
Baca juga: Polemik Tambang dalam Kawasan Hutan Lindung
“Waktu kecil, kami biasa datang ke sini bersama teman-teman untuk duduk di bawah naungan pohon eucalyptus dan pinus,” kata Mohammed Ali, warga setempat.
“Tapi sekarang menjadi tanah tandus. Kini, tidak ada naungan yang tersisa, hanya panas matahari di mana-mana,” ungkapnya kepada AFP.
Ali menambahkan, badai debu terus terjadi. Danau Assad, bendungan air tawar terbesar di Suriah, juga mengering.
Level permukaan air di Efrat dan waduk-waduk yang dialirinya juga terus menyusut, diperparah dengan polusi di sana.
Baca juga: Sengkarut Pengelolaan Hutan Indonesia
Deforestasi di Suriah sebagian besar disebabkan oleh penebangan dan penjarangan untuk kayu bakar, menurut laporan PAX, LSM dari Belanda.
“Harga bahan bakar yang melonjak ditambah eksodus besar-besaran menjadi pendorong utama deforestasi skala besar di seluruh Suriah,” lapor PAX.
“Warga sipil menebang pohon untuk memasak dan pemanas, sementara ada indikasi jelas bahwa kelompok bersenjata juga melakukan penebangan liar dan penjualan kayu sebagai sumber pendapatan,” sambungnya.
Baca juga: 7 Fakta soal Deforestasi, Hutan Hilang Setara 5,8 Miliar Lapangan Sepak Bola
Hutan lebat di barat Suriah telah mengalami degradasi paling parah akibat perang, sebagian besar dikarenakan penebangan pohon dan kebakaran hutan, kata PAX.
Provinsi Latakia, Hama, Homs, dan Idlib kehilangan setidaknya 36 persen pohon mereka dalam dekade setelah 2011 ketika konflik meletus, menurut PAX.
Di timur laut, pihak berwenang mengaku tidak memiliki data pasti tentang kerusakan hutan yang terjadi.
Daerah itu adalah lumbung negara pada masa sebelum perang, tetapi mengalami kekeringan parah dan curah hujan berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Gunung Mas Kalteng Punya Hutan Adat Terluas Se-Indonesia
Di pinggiran Hasakeh, sebuah kota lebih jauh ke timur, cagar alam Gunung Abdulaziz dilanda musim kemarau panjang dan penebangan liar.
Seorang penduduk desa Al-Naseri, Saleh al-Helou (65), menuturkan bahwa hutan di sana dulunya menjadi “selimut hijau”.
Tapi sekarang, kata Saleh, tidak ada lagi pepohonan yang rindang. Tanaman di sekitarnya juga ikut layu.
“Penebangan berdampak besar pada desa. Suhu telah meningkat, dan cuacanya tidak sama lagi,” ucap Saleh.
Baca juga: Hari Hutan Indonesia Ajak Anak Muda Ikut Aksi Kolaboratif Jaga Hutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya