Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/08/2023, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Pakar lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan Emil Salim menyampaikan, keputusan utama harus diambil untuk mengubah sasaran netralitas karbon atau net zero emission (NZE).

Selain itu, keputusan yang diambil juga perlu berfokus pada pemecahan masalah dari dampak yang dihasilkan perubahan iklim di Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Emil dalam acara "Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045", Senin (21/8/2023).

Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Sangat Nyata, Banyak Wilayah Indonesia Tergenang Permanen

“Tinggalkan program-program lain yang tidak terlalu penting, utamakan tetap utuhnya pulau-pulau Tanah Air kita dari ancaman naiknya muka laut, turunnya lahan, dan perubahan iklim,” kata Emil, sebagaimana dilansir Antara.

“(Hal ini ditujukan) agar Tanah Air Indonesia 2045 tetap berdiri bukan karena pidato, bukan karena monumen,” sambungnya.

Dalam Dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim tahun 2021 yang diluncurkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), telah dibagi lokasi prioritas ketahanan iklim dengan kategori super prioritas, top prioritas, dan prioritas.

Super prioritas berarti provinsi tertentu memiliki bahaya tinggi, kerentanan tinggi, dan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tinggi akibat perubahan iklim melalui kenaikan permukaan laut dan pesisir, serta penurunan permukaan tanah.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Kebakaran Hutan di Eropa Makin Ganas

Untuk top prioritas memiliki potensi bahaya tinggi dan kerentanan tinggi, serta kategori prioritas yang memiliki bahaya tinggi.

Berdasarkan laporan tersebut, 22 dari 28 provinsi di Indonesia berkategori top prioritas dari ancaman perubahan iklim.

Sejumlah provinsi yang menempati posisi tertinggi top prioritas adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah, Aceh, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.

Emil mengatakan, sebagian besar provinsi yang masuk kategori super prioritas berasal dari bagian timur Indonesia.

Baca juga: Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim

“Kita diserang oleh El Nino dari timur, maka kepulauan provinsi-provinsi yang berada di timur Indonesia termasuk provinsi yang banyak menduduki top prioritas di dalam ancaman perubahan iklim,” kata mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia periode 1978-1993 itu.

Dampak dari perubahan iklim melalui lautan juga dialami bagian barat Indonesia mulai dari Aceh, Mentawai di Sumatera Barat, Nias di Sumatera Utara, hingga bagian selatan Indonesia.

“Indonesia adalah negara kepulauan yang diapit oleh Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Dua lautan ini mengalami perubahan yang fundamental akibat perubahan iklim dan kita terkepung oleh dua samudra ini,” papar Emil.

“Maka, pengaruh dari dua samudera ini, 22 provinsi di Tanah Air kita mengalami ancaman dampak perubahan iklim,” tambahnya.

Baca juga: Komitmen Iklim Indonesia Disebut Tak Konsisten dengan Persetujuan Paris

Menurut dia, upaya mengimplementasikan pembangunan berketahanan iklim memerlukan dana yang besar seperti tanggul lepas pantai, pemecah gelombang, dan penggalakan hutan bakau.

Dia menilai, kebijakan mencapai NZE pada 2060 dapat digeser menjadi tahun 2030 sebagaimana disepakati Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Jika NZE tetap dicapai pada tahun 2060, ancaman perubahan iklim dianggap berpotensi lebih besar terjadi di Indonesia.

Baca juga: Krisis Iklim Berpotensi Turunkan GDP Indonesia hingga 11 Persen

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau