KOMPAS.com - Kebijakan dan komitmen iklim Indonesia disebut tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Peneliti Iklim dan Energi Essential Services Reform (IESR) Shahnaz Nur Firdausi menyampaikan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia justru rawan menyebabkan peningkatan emisi, bukan menurunkannya.
Shahnaz menyampaikan hal tersebut dalam media briefing bertajuk "Mengukur Ambisi Iklim ASEAN pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023" di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Baca juga: Krisis Iklim Berpotensi Turunkan GDP Indonesia hingga 11 Persen
Menurut laporan Climate Action Tracker (CAT), target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi alias highly insufficient.
Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka suhu global akan meningkat antara 2 hingga 3 derajat celsius, lebih tinggi daripada Perjanjian Paris.
“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5 derajat celsius,” kata Shahnaz dalam siaran pers dari IESR.
Dia menuturkan, Indonesia perlu menaikkan target kontribusi nasional yang ditetapkan alias nationally determined contribution (NDC) menjadi 75 persen di bawah skenario NDC business as usual (BAU) di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan bersyarat.
Baca juga: Selain Ancam Lingkungan, Perubahan Iklim Tingkatkan Risiko Infeksi dan Keracunan Makanan
Untuk di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan tidak bersyarat, NDC perlu dinaikkan 62 persen di bawah NDC BAU.
“Terlebih lagi, emisi Indonesia dari penggunaan lahan dan kehutanan telah mencapai hampir 50 persen dari total emisi selama 20 tahun terakhir,” papar Shahnaz.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, ancaman iklim menjadi semakin serius bagi negara-negara ASEAN.
Ancaman dari perubahan iklim akan berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan.
Baca juga: KPU Didorong Angkat Isu Krisis Iklim dalam Pemilu 2024
Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara menjadi semakin berat.
Fabby menyampaikan, Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 dapat mendorong negara anggota lainnya agar mempunyai kesepakatan bersama untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan Persetujuan Paris.
Selain itu, Indonesia juga dapat memobilisasi dukungan dari negara ASEAN lainnya untuk menargetkan pengakhiran operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap sebelum 2050.
Menurut Fabby, pelarangan pembangunan PLTU baru di Indonesia namun tetap mengizinkan pembangunan yang baru untuk keperluan industri dapat menghambat pencapaian bauran energi terbarukan yang lebih tinggi.
Baca juga: Perempuan Jadi Kelompok Paling Terdampak Perubahan Iklim di Indonesia
Dia menekankan, Pemerintah Indonesia dapat mendorong komitmen yang lebih tegas untuk pengakhiran operasional PLTU batu bara di negara ASEAN.
Selain itu, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di ASEAN, terutama pengembangan energi surya.
Dia mendorong pembahasan mengenai penyediaan rantai pasok yang terintegrasi patut disepakati pada ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya,” papar Fabby.
Baca juga: Gender dan Perubahan Iklim Jadi Topik dalam Dialog Nasional yang Digelar KPPPA dan KLHK
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya