Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kelompok Paling Rentan Terpapar Polusi Udara, Diintai Penyakit Kronis

Kompas.com, 25 Agustus 2023, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Ibu hamil, balita, orang lanjut usia (lansia), dan penderita penyakit paru adalah kelompok yang paling rentan terpapar polusi udara.

Hal tersebut disampaikan dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Feni Fitriani dalam sebuah diskusi daring, Rabu (23/8/2023).

Feni menyampaikan, pada ibu hamil, polusi udara dapat menyebabkan risiko bayi lahir dengan tinggi dan berat badan kurang.

Baca juga: Atasi Polusi, SUN Energy Tawarkan Instalasi Sistem Energi Surya Gratis

Hal tersebut berpotensi membuat bayi menjadi stunting, sehingga memengaruhi pertumbuhan organ-organ tubuhnya saat dewasa.

“Sedangkan pada anak terjadi gangguan pertumbuhan pada paru, pertumbuhan tubuhnya, bahkan stunting,” kata Feni, sebagaimana dilansir Antara.

“Kemudian mudah terjadi gejala batuk-batuk dan keluhan asma. Dan mulailah terjadi pengerasan pembuluh darah, karena sejak kecil, bahan-bahan polutan sudah memengaruhi anak tersebut,” imbuhnya.

Karena sejak kecil terpapar polusi udara, anak ketika beranjak dewasa berisiko tinggi terkena penyakit jantung dan asma.

Baca juga: Kurangi Polusi di Jakarta, Gobel Group Tanam Mangrove

Selain itu, mereka juga berisiko terkena stroke usia dini, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan diabetes.

Selain itu, ada pula ancaman menurunnya kondisi organ pernapasan, seperti paru, kemudian demensia atau pikun, gagal jantung, dan stroke.

Feni menjelaskan dari segi jenis, polutan terbagi atas gas dan partikel. Gas ada yang bersifat iritasi dan peradangan, serta gas yang menyebabkan sesak nafas karena kekurangan oksigen, misalnya karbon dioksida dan karbon monoksida.

Sementara partikel yang menyebabkan iritasi, peradangan, bahkan penyebab kanker dan kerusakan pernafasan yakni volatile organic compound (VOC) dan particulate matter (PM) 2,5.

Baca juga: Polusi Udara Mengkhawatirkan, Indonesia Perlu Mendukung Cleantech Start-up

PM 2,5 inilah yang diduga menjadi partikel penyebab meningkatnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di kota-kota besar, termasuk Jabodetabek.

“Karena sifatnya iritasi, ada keluhan akut baik oleh gas maupun partikel, itu mata jadi sering berair, hidung mampet dan tersumbat, sakit tenggorokan, gatal dan batuk-batuk, dan mudah terjadi ISPA,” tutur Feni.

Apabila partikel polusi masih berukuran puluhan mikrometer, kata Feni, maka masih bisa disaring oleh bulu-bulu hidung.

Akan tetapi, apabila ukurannya semakin kecil, bisa masuk ke kantong udara yang paling kecil atau alveolus, kemudian masuk ke aliran darah dan berbahaya bagi kesehatan.

Baca juga: Waspada, Anak Bisa Terpapar Polusi Udara Sejak Dalam Kandungan Hingga Lahir

Dia menyebutkan, orang yang tinggal di wilayah dengan polusi tinggi, maka sistem imunnya akan menurun. Meskipun sudah sembuh dari penyakit tertentu, tidak akan sempurna, bahkan berlanjut ke penyakit kronis lainnya.

Untuk itu, dia mengimbau masyarakat agar ikut berperan aktif mengurangi sumber polusi udara dengan tidak membakar sampah dan mulai menggunakan transportasi umum, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta tidak merokok.

“Para pemangku kebijakan juga agar segera membuat undang-undang dan peraturan terkait pengurangan polusi udara, melakukan koordinasi lintas sektoral bersama akademisi dan profesi untuk memperbaiki kualitas udara,” papar Feni.

Baca juga: Solusi KLHK Tekan Polusi, Dorong Kendaraan Listrik dan Uji Emisi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Iklim Bukan Satu-satunya Penyebab Bencana Hidrometeorologi di Sumatera Barat, Ini Kata Pakar
Iklim Bukan Satu-satunya Penyebab Bencana Hidrometeorologi di Sumatera Barat, Ini Kata Pakar
LSM/Figur
Mengapa Banjir Bandang di Sumatera Barat Berulang? Ini Menurut WALHI
Mengapa Banjir Bandang di Sumatera Barat Berulang? Ini Menurut WALHI
LSM/Figur
Pembalakan Liar: Tantangan Regulasi dan Ancaman bagi Generasi Mendatang
Pembalakan Liar: Tantangan Regulasi dan Ancaman bagi Generasi Mendatang
Pemerintah
Upaya Warga Selamatkan Kakatua Jambul Kuning Langka, Tanam Pohon Kelengkeng
Upaya Warga Selamatkan Kakatua Jambul Kuning Langka, Tanam Pohon Kelengkeng
LSM/Figur
IS2P Bekali Jurnalis untuk Olah Laporan Keberlanjutan dan Cegah Greenwashing
IS2P Bekali Jurnalis untuk Olah Laporan Keberlanjutan dan Cegah Greenwashing
LSM/Figur
Eksploitasi SDA Demi Ekonomi 8 Persen, Indonesia Bisa Keluarkan Biaya Lebih Menurut Pakar
Eksploitasi SDA Demi Ekonomi 8 Persen, Indonesia Bisa Keluarkan Biaya Lebih Menurut Pakar
LSM/Figur
Upaya Restorasi TN Tesso Nilo 31.000 Hektar, Cukupkah untuk Gajah?
Upaya Restorasi TN Tesso Nilo 31.000 Hektar, Cukupkah untuk Gajah?
Pemerintah
Banjir Sumatera dan Amanah Kolektif Menjaga Ruang Hidup
Banjir Sumatera dan Amanah Kolektif Menjaga Ruang Hidup
Pemerintah
Survei: 32 Persen CEO Indonesia Klaim Perusahaannya Terapkan Keberlanjutan
Survei: 32 Persen CEO Indonesia Klaim Perusahaannya Terapkan Keberlanjutan
Swasta
Kemenhut: Gelondongan Terbawa Banjir Berasal dari Pohon Lapuk dan Kemungkinan 'Illegal Logging'
Kemenhut: Gelondongan Terbawa Banjir Berasal dari Pohon Lapuk dan Kemungkinan "Illegal Logging"
Pemerintah
Ironi Banjir Besar di Sumatera, Saat Cuaca Ekstrem Bertemu Alih Fungsi Lahan
Ironi Banjir Besar di Sumatera, Saat Cuaca Ekstrem Bertemu Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
ADB: Asia Perlu 1,7 Triliun Dollar AS Per Tahun untuk Respons Perubahan Iklim
ADB: Asia Perlu 1,7 Triliun Dollar AS Per Tahun untuk Respons Perubahan Iklim
LSM/Figur
Kemenhut Ancam Pidanakan Pihak yang Tak Serahkan Lahan TN Tesso Nilo
Kemenhut Ancam Pidanakan Pihak yang Tak Serahkan Lahan TN Tesso Nilo
Pemerintah
Kasus Campak Global Naik, 30 Juta Anak Tak Dapat Vaksin
Kasus Campak Global Naik, 30 Juta Anak Tak Dapat Vaksin
Pemerintah
Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau