KOMPAS.com – Ibu hamil, balita, orang lanjut usia (lansia), dan penderita penyakit paru adalah kelompok yang paling rentan terpapar polusi udara.
Hal tersebut disampaikan dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Feni Fitriani dalam sebuah diskusi daring, Rabu (23/8/2023).
Feni menyampaikan, pada ibu hamil, polusi udara dapat menyebabkan risiko bayi lahir dengan tinggi dan berat badan kurang.
Baca juga: Atasi Polusi, SUN Energy Tawarkan Instalasi Sistem Energi Surya Gratis
Hal tersebut berpotensi membuat bayi menjadi stunting, sehingga memengaruhi pertumbuhan organ-organ tubuhnya saat dewasa.
“Sedangkan pada anak terjadi gangguan pertumbuhan pada paru, pertumbuhan tubuhnya, bahkan stunting,” kata Feni, sebagaimana dilansir Antara.
“Kemudian mudah terjadi gejala batuk-batuk dan keluhan asma. Dan mulailah terjadi pengerasan pembuluh darah, karena sejak kecil, bahan-bahan polutan sudah memengaruhi anak tersebut,” imbuhnya.
Karena sejak kecil terpapar polusi udara, anak ketika beranjak dewasa berisiko tinggi terkena penyakit jantung dan asma.
Baca juga: Kurangi Polusi di Jakarta, Gobel Group Tanam Mangrove
Selain itu, mereka juga berisiko terkena stroke usia dini, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan diabetes.
Selain itu, ada pula ancaman menurunnya kondisi organ pernapasan, seperti paru, kemudian demensia atau pikun, gagal jantung, dan stroke.
Feni menjelaskan dari segi jenis, polutan terbagi atas gas dan partikel. Gas ada yang bersifat iritasi dan peradangan, serta gas yang menyebabkan sesak nafas karena kekurangan oksigen, misalnya karbon dioksida dan karbon monoksida.
Sementara partikel yang menyebabkan iritasi, peradangan, bahkan penyebab kanker dan kerusakan pernafasan yakni volatile organic compound (VOC) dan particulate matter (PM) 2,5.
Baca juga: Polusi Udara Mengkhawatirkan, Indonesia Perlu Mendukung Cleantech Start-up
PM 2,5 inilah yang diduga menjadi partikel penyebab meningkatnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di kota-kota besar, termasuk Jabodetabek.
“Karena sifatnya iritasi, ada keluhan akut baik oleh gas maupun partikel, itu mata jadi sering berair, hidung mampet dan tersumbat, sakit tenggorokan, gatal dan batuk-batuk, dan mudah terjadi ISPA,” tutur Feni.
Apabila partikel polusi masih berukuran puluhan mikrometer, kata Feni, maka masih bisa disaring oleh bulu-bulu hidung.
Akan tetapi, apabila ukurannya semakin kecil, bisa masuk ke kantong udara yang paling kecil atau alveolus, kemudian masuk ke aliran darah dan berbahaya bagi kesehatan.
Baca juga: Waspada, Anak Bisa Terpapar Polusi Udara Sejak Dalam Kandungan Hingga Lahir
Dia menyebutkan, orang yang tinggal di wilayah dengan polusi tinggi, maka sistem imunnya akan menurun. Meskipun sudah sembuh dari penyakit tertentu, tidak akan sempurna, bahkan berlanjut ke penyakit kronis lainnya.
Untuk itu, dia mengimbau masyarakat agar ikut berperan aktif mengurangi sumber polusi udara dengan tidak membakar sampah dan mulai menggunakan transportasi umum, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta tidak merokok.
“Para pemangku kebijakan juga agar segera membuat undang-undang dan peraturan terkait pengurangan polusi udara, melakukan koordinasi lintas sektoral bersama akademisi dan profesi untuk memperbaiki kualitas udara,” papar Feni.
Baca juga: Solusi KLHK Tekan Polusi, Dorong Kendaraan Listrik dan Uji Emisi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya