KOMPAS.com – Keterwakilan perempuan di parlemen dan kepemimpinan perempuan di daerah masih belum merata dan belum mencapai target.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dalam Kongres Perempuan Nasional di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/8/2023).
Bintang menyampaikan, meskipun angka keterwakilan perempuan di parlemen telah mengalami peningkatan, tetapi persentasenya belum mencapai target 30 persen.
Baca juga: PPI Jepang dan KJRI Osaka Dorong Kepemimpinan Perempuan
Berdasarkan data Angka Partisipasi Perempuan di Parlemen Tahun 2021 Badan Pusat Statistik (BPS), hanya satu dari 34 provinsi yang berhasil melampaui target tersebut, yaitu Kalimantan Tengah.
Sementara itu, di tataran nasional, angka keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam tiga tahun terakhir cenderung fluktuatif.
Jumlahnya juga belum pernah mencapai persentase minimal yang diharapkan, yaitu 17,9 persen pada periode 2009-2014, 17,3 persen pada periode 2014-2019, dan 20,5 persen pada periode 2019-2024.
Lebih lanjut, saat ini jumlah kepala daerah perempuan yang masih menjabat hingga 2023 dan 2024 hanya 24 orang atau sekitar 4 persen.
Baca juga: Porsi Perempuan di Level Pengambil Keputusan Perlu Ditambah
Berdasarkan hasil Indeks Inovasi Daerah Tahun 2022, dari 24 kepala daerah perempuan tersebut, lima daerah berpredikat sebagai sangat inovatif, 17 berpredikat inovatif, dan hanya dua daerah yang berpredikat kurang inovatif.
Bintang menuturkan, untuk mengakhiri berbagai bentuk ketimpangan di masyarakat, termasuk ketimpangan gender, dibutuhkan pembangunan yang inklusif.
“Guna mencapai pembangunan yang inklusif, kepemimpinan perempuan menjadi poin penting yang perlu didorong implementasinya,” kata Bintang dalam keterangan tertulis.
“Perempuan perlu didorong dan diberi dukungan untuk melakukan perubahan dan perbaikan di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat,” sambungnya.
Baca juga: Perempuan Punya Potensi Besar untuk Bantu Perekonomian Indonesia
Bintang mengatakan, perempuan harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan dan memiliki akses untuk mengontrol pelaksanaannya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Jawa Tengah Nawal Arafah Yasin menyebutkan, berbagai permasalahan hak asasi manusia yang dialami perempuan berpotensi menghambat dan membatasi kepemimpinan perempuan, baik secara nasional maupun daerah.
“Kemiskinan, pendidikan rendah, pekerjaan tanpa upah, beban ganda, perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, perdagangan perempuan, stereotipe, akses kepemilikan tanah, dan masalah perempuan dengan kedaulatan pangan masih terus terjadi di Indonesia,” ungkap Nawal.
Baca juga: Berbagi Inspirasi Perempuan Indonesia, HWT Gold Gelar Beauty Makeover Party
Nawal menambahkan, berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya sudah mengamatkan penghapusan diskriminasi, termasuk kepada perempuan.
Menurutnya, perempuan memiliki kesempatan untuk terlibat dan dipilih sebagai pemimpin di berbagai sektor, mulai dari pemerintahan, parlemen, partai politik, badan usaha milik negara atau daerah, perusahaan swasta, hingga organisasi masyarakat.
“Tidak ada demokrasi tanpa adanya kepemimpinan perempuan. Tidak kesejahteraan tanpa kemajuan perempuan. Tidak ada keadilan tanpa perlindungan perempuan,” ucap Nawal.
Baca juga: Perempuan Remaja Diajak Atasi Anemia untuk Cegah Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya