Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tim Percepatan Reformasi Hukum Desak PP Ekspor Pasir Laut Dibatalkan

Kompas.com - 16/09/2023, 09:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Tim Percepatan Reformasi Hukum mengusulkan agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dibatalkan.

Tim Percepatan Reformasi Hukum, khususnya yang membidangi isu reformasi sektor agraria dan sumber daya alam (SDA), mengusulkan PP tersebut dibatalkan pada Desember tahun ini.

Usul tersebut disampaikan bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD itu dalam dokumen Reformasi Agendi Prioritas Percepatan Reformasi Hukum yang dirilis di situs web-nya.

Baca juga: Sedimentasi di Pelabuhan Bangka Ciptakan Gunung Pasir, Nelayan Terhambat

Menurut Tim Percepatan Reformasi Hukum, PP Nomor 26 Tahun 2023 membahayakan ekosistem laut dan kehidupan nelayan tradisional, sekaligus membuka kembali pintu ekspor pasir laut.

PP Nomor 26 Tahun 2023 disebut bermasalah dari aspek hukum, hak asasi manusia (HAM), dan lingkungan hidup.

“Penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap SDA (sumber daya alam) dan lingkungan hidup,” tulis tim tersebut dalam dokumennya.

Di sisi lain, penambangan pasir laut juga dikhawatirkan dapat memengaruhi batas wilayah antara Indonesia dan Singapura. Sebab, batas wilayah antara kedua negara belum selesai hingga saat ini.

Baca juga: Penambangan Pasir Laut Ancam Hiu Berjalan dan Pari Manta yang Hampir Punah

PP Nomor 26 Tahun 2023 diteken Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 dan menuai reaksi kekhawatiran dari sejumlah pihak.

Koordinator Penelitian Pencemaran Laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Zainal Arifin mengatakan, masyarakat sekitar pulau penambangan sedimen pasir laut, terutama para nelayan, akan mengalami dampak penurunan budidaya perikanan.

Hal ini disebabkan kondisi perairan sekitar penambangan sedimen pasir laut akan keruh sehingga produktivitas nelayan akan berkurang.

Zainal menambahkan, penambangan sedimen pasir laut harus ditindaklanjuti dengan peraturan yang jelas dan tidak boleh mengesampingkan kepentingan masyarakat sekitar.

Baca juga: Greenpeace Tolak Terlibat dalam Tim Kajian Ekspor Pasir Laut

“Perlu dipertimbangkan win-win solution baik dari pelaku usaha penambangan pasir laut dan lapisan masyarakat sekitar wilayah penambangan,” ujarnya, sebagaimana dilansir dari Kompas.com.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mendesak pemerintah untuk segera mencabut PP tersebut karena saat ini laut butuh perlindungan.

“Sikap kami menolak kebijakan tersebut dan akan mendesak pemerintah untuk segera mencabut peraturan ini karena tidak relevan dimana saat ini laut kita butuh perlindungan bukan sebaliknya,” kata Afdillah.

Sebelum adanya PP tersebut, ekspor pasir laut sudah dilarang pemerintah sejak 2003 melalui Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tertanggal 28 Februari 2003.

Baca juga: Selain Berdampak ke Lingkungan, Ekspor Pasir Laut Ganggu Kedaulatan Negara

“20 tahun lalu ekspor pasir ini ditutup karena memang terbukti merusak dan berdampak masif tetapi pemerintah sekarang seperti tidak belajar,” ujar Afdillah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam beberapa kesempatan menjelaskan ekspor pasir laut merupakan opsi terakhir.

Dia menilai ketentuan itu justru mengatur pemanfaatan pasir laut agar pemanfaatannya, yang ditujukan salah satunya untuk reklamasi, tidak ilegal dan masif.

“Kalau tidak (diatur) nanti semua main diambil saja untuk kepentingan reklamasi. Ingat, ya. Saya tidak bicara ekspor,” kata Trenggono di pada Juni, sebagaimana dilansir Antara.

Baca juga: Soal Ekspor Pasir Laut, Aktivis: Karpet Merah untuk Bisnis dan Oligarki

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau