BERMULA dari kontroversi terbitnya Peraturan Menteri LHK P. 24/2020 yang membolehkan food estate di hutan lindung, polemik tentang kawasan hutan untuk food estate dimulai.
Kini food estate, khususnya di Kalimantan Tengah, dituding oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai bagian dari kegiatan kejahatan lingkungan.
Dalam praktiknya, kebijakan itu dianggap disalahgunakan. Hutan ditebang, tetapi food estate tidak terbangun dengan baik.
Food estate yang dianggap bagian kejahatan lingkungan masuk dalam wilayah kejahatan kehutanan. Biasanya dilakukan korporasi secara sistematis, menghancurkan ekosistem, mengganggu kesehatan masyarakat, menimbulkan kerugian negara, dan menurunkan kewibawaan negara.
Indonesia telah merasakan bagaimana dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengganggu kesehatan, mengganggu kegiatan pendidikan dan perekonomian, serta protes dari negara tetangga akibat pencemaran asap lintas batas yang terjadi beberapa tahun lalu.
Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, salah satu jalan untuk penyediaan lahan food estate yang sangat luas berasal dari kawasan hutan negara.
Pertanyaan mendasar adalah, haruskah hutan ditebang untuk kegiatan food estate? Kawasan hutan apa saja yang boleh/tidak boleh digunakan untuk food estate dan apa saja syarat yang dibutuhkan?
Dalam lokakarya kegiatan penyuluhan di Manado, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh Komisi Penyuluhan Provinsi seluruh Indonesia pada 2014, sebagai nara sumber yang mewakili Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (B2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saya dihujani banyak pertanyaan peserta seputar masalah hutan dan kehutanan di daerah.
Salah satu pertanyaan menarik berasal dari seorang guru besar pertanian dari Univeristas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Pertanyaannya terkait izin alih fungsi lahan (pelepasan kawasan hutan) untuk kegiatan food estate yang dicadangkan sebagai lumbung pangan di Kaltim dan berlokasi di Kabupaten Kutai Timur.
Rekomendasi dan izinya tidak kunjung terbit setelah diajukan ke Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) beberapa tahun sebelumnya, seluas 200.000 ha.
Secara singkat, saya jawab dan jelaskan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan masih berhati-hati untuk memproses pelepasan kawasan hutan untuk food estate di pulau Kalimantan yang lahannya pada umumnya asam dan miskin hara.
Pasalnya, ada pengalaman proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Provinsi Kalteng yang dibangun pada 1995 oleh pemerintah orde baru dan dinyatakan gagal total pada awal era reformasi 1998.
PLG tersebut membuat pemerintah “trauma” melihat dampak kegagalan yang luar biasa.
Fungsi “spon” ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, dan tetap basah pada musim kemarau sehingga jarang terjadi kebakaran, telah hilang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya