KOMPAS.com - Transformasi kesehatan untuk semua kalangan masyarakat perlu memperhatikan kelompok rentan.
Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda menuturkan, kesehatan tidak hanya diperuntukkan sekelompok populasi yang mudah mengakses.
"Tetapi juga kelompok-kelompok lain yang suaranya masih kecil dan tertinggal," kata Olivia dalam diskusi publik kesehatan dan hak asasi manusia di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Baca juga: Layanan Kesehatan Primer Negara Berkembang Butuh Rp 3.097 Triliun
Dia menegaskan, prinsip kesehatan untuk semua perlu melibatkan seluruh masyarakat tanpa melihat status ekonomi, agama, dan lain sebagainya.
"Siapa pun harus bisa mengakses layanan berkualitas tanpa hambatan apa pun, saat Covid-19 bisa kita lihat masih ada hambatan administratif, geografis, dan informasi bagi kelompok rentan," ujar Olivia, sebagaimana dilansir Antara.
Dia mencontohkan, saat pandemi Covid-19, kajian CISDI menemukan bahwa kelompok rentan menghadapi hambatan geografis, administratif, infrastruktur, stigma, dan diskriminasi.
Hambatan-hambatan tersebut membuat mereka kesulitan layanan kesehatan.
"Masyarakat adat, misalnya, mereka memiliki kendala administratif, informasi, dan geografis, karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), jadi kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan yang setara," papar Olivia.
Dia menyebutkan, melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, konstitusi sudah mengakui bahwa kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia.
"Itu juga sudah diterjemahkan secara konkret oleh pemerintah dengan adanya jaminan kesehatan nasional, layanan kesehatan primer, dan bisa dengan mudah kita akses, tetapi seharusnya bisa didorong juga agar kelompok rentan bisa mengakses layanan kesehatan yang setara," ucap Olivia.
Sementara itu, Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Taufik Hanafi menyatakan, ada lima upaya transformatif yang dilakukan pemerintah di bidang kesehatan.
"Transformasi pertama yakni jaminan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan untuk penurunan stunting," kata Taufik.
Dia menekankan, pemenuhan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan penting karena merupakan jendela emas perkembangan fisiologi manusia. Sehingga pada periode tersebut perlu dijamin tumbuh kembang yang baik.
Transformasi kedua yakni perluasan investasi pelayanan kesehatan primer sampai tingkat desa dan kelurahan, termasuk kelembagaan kader kesehatan.
Transformasi ketiga, yakni pemenuhan jumlah dan jenis tenaga medis serta tenaga kesehatan berkualitas, kompeten, dan responsif sesuai kondisi wilayah.
Baca juga: Dukung Penguatan Kesehatan, Radjak Hospital Salemba Hadirkan Center of Excellent
"Ada 57,47 persen puskesmas tidak tersedia sembilan jenis tenaga kesehatan (nakes) sesuai standar. 20,08 persen rumah sakit umum daerah Kelas C belum memiliki tujuh dokter spesialis dasar dan penunjang, dan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang terakreditasi baru 44 persen," ujar dia.
Transformasi keempat yakni restrukturisasi urusan dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah di bidang kesehatan, termasuk skema pembiayaan dan pengelolaan tenaga medis serta nakes.
Transformasi kelima, yakni pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, organisasi non-pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat,
Pembangunan kesehatan yang dimaksud memperhatikan dinamika sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, perdagangan, industri, pangan, dan lingkungan.
Baca juga: Bonus Demografi Buka Peluang Investasi Kesehatan Rp 1.200 Triliun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya