Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemanasan Global Makin Parah, 216 Juta Orang Berpotensi Jadi "Migran Iklim"

Kompas.com - 02/10/2023, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - International Organization for Migration (IOM) memprediksi, antara 44 juta hingga 216 juta orang bisa menjadi "migran iklim" pada 2050 karena pemanasan global.

Ketika pemanasan global dan krisis iklim semakin parah, berbagai bencana alam menjadi lebih sering terjadi di dunia, sebagaimana dilansir Anadolu Agency, Jumat (29/9/2023).

Dampak buruk dari bencana alam dan cuaca ekstrem tersebut mau tak mau memaksa orang-orang terdampak untuk bermigrasi ke daerah yang lebih aman.

Baca juga: Kerangka Kerja Baru UNEP: Limbah Kimia Setara dengan Krisis Iklim

Menurut laporan IOM pada 2022, selama 10 tahun terakhir ada sekitar 21,6 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa bermigrasi karena berbagai hal yang menyulitkan kehidupan mereka akibat perubahan iklim.

Laporan IOM memperingatkan risiko perubahan iklim sedang meningkat di seluruh dunia.

Diperkirakan 1 miliar orang akan menghadapi berbagai masalah seperti kenaikan permukaan air laut, banjir, kekeringan, suhu ekstrem, dan ketahanan pangan pada dekade mendatang.

Menurut laporan IOM, dari 2012 hingga 2021, wilayah yang paling terkena dampak peristiwa cuaca terkait perubahan iklim secara berurutan adalah Asia Timur, Pasifik, Asia Tenggara, Afrika Sub-Sahara, Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, dan Asia Tengah.

Baca juga: Perubahan Iklim Pengaruhi Pariwisata, Wisatawan Diminta Ikut Peduli

Laporan tersebut juga menyoroti bahwa jutaan orang terkena dampak bencana terkait iklim di berbagai wilayah.

Contohnya, di Asia Timur dan Pasifik ada lebih dari 10 juta yang terkena dampak bencana terkait iklim. Sementara di Asia Tenggara terdapat lebih dari 8 juta yang terdampak bencana terkait iklim.

Laporan tersebut turut mengemukakan, bahkan di Eropa dan Asia Tengah yang mobilitas manusianya rendah karena perubahan iklim, ada hampir 2 juta orang harus menghadapi bencana banjir.

Masih menurut laporan IOM, kawasan dengan perkiraan jumlah migran tertinggi pada tahun 2050 terjadi di negara-negara Afrika Sub-Sahara, Asia Timur, Pasifik, Asia Selatan, Asia Utara, Amerika Latin, Eropa, dan Asia Tengah.

Baca juga: 6 Pemuda Portugal Seret 32 Negara Eropa ke Meja Hijau, Gugat Aksi Iklim Tak Memadai

Laporan tersebut menekankan bahwa kenaikan permukaan air laut dapat menyebabkan 750.000 orang menjadi "migran iklim" di pantai Afrika Timur pada 2020 hingga 2050.

Di Bangladesh, kenaikan permukaan laut sebesar 0,44 meter dapat membuat 730.000 orang menjadi "migran iklim".

Masih di Bangladesh, kenaikan permukaan laut sebesar 2 meter dapat menyebabkan 2,1 juta orang menjadi "migran iklim" pada 2100.

Ekonomi dari Erciyes University di Turkiye, Melike Dedeoglu, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa mereka yang terpaksa menjadi "migran iklim" didorong oleh berbagai faktor.

Baca juga: Bentuk Komite ESG, OIKN Bakal Terbitkan Obligasi Iklim Tahun 2027

Beberapa faktor tersebut seperti bencana terkait iklim seperti banjir, penurunan produktivitas pertanian, kelangkaan air, kekeringan, dan suhu ekstrem.

Dedeoglu mengatakan, kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh pemanasan global menyebabkan hilangnya lahan dan akibatnya adalah migrasi.

Dia menambahkan, konflik yang timbul dari meningkatnya persaingan atas sumber daya alam juga dapat mendorong migrasi iklim.

“Migrasi semacam ini dapat terjadi di seluruh dunia akibat bencana yang disebabkan oleh krisis iklim," kata Dedeoglu.

"Misalnya, Badai Katrina di AS pada 2005 menyebabkan salah satu peristiwa migrasi terbesar dalam sejarah AS, dengan 1,5 juta orang berpindah, 300.000 orang menetap, dan 107.000 orang bermigrasi secara ilegal," ucap Dedeoglu.

Baca juga: Kurang dari Separuh Warga Asia Tenggara Yakini Perubahan Iklim Ancaman Serius Bagi Negara

Dedeoglu mencatat, dalam kasus migrasi iklim, orang-orang pada awalnya memilih wilayah di negara mereka sendiri.

Namun, seiring dengan meningkatnya dampak global dari krisis iklim, mungkin akan ada lebih banyak migrasi lintas negara di masa depan.

Pada 2013, terdapat permohonan pengungsi terkait krisis iklim dari Kiribati ke Selandia Baru, namun permohonan tersebut ditolak.

"Ada definisi pengungsi yang diuraikan dalam Konvensi Jenewa, dan migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim tidak mencakup hal tersebut," ucap Dedeoglu.

"Jutaan orang yang menghadapi masalah ini tidak termasuk karena belum ada peraturan yang mengaturnya," sambungnya Dedeoglu.

Baca juga: Presiden Jokowi Ingatkan, Hati-hati Ancaman Perubahan Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau