Selama 20 tahun terakhir, kebakaran telah menghanguskan lebih dari 2,87 juta hektare hutan nasional. Pada 2022 saja, seluas 230.000 hektare hutan primer hangus terbakar, dengan total emisi karbon yang dihasilkan mencapai 177 juta ton.
Dana Dunia Untuk Alam (WWF) meyakini bahwa setidaknya 75 persen di antara kebakaran tersebut melibatkan aktivitas manusia. Pembukaan lahan dengan sistem tebang bakar masih menjadi salah satu penyebab utamanya.
Deforestasi juga belum berhenti sepenuhnya, meski moratorium perizinan hutan telah dipermanenkan pada 2019.
Masih adanya pembalakan liar menjadi salah satu penyebab Indonesia menjadi negara dengan penurunan luas hutan primer terbesar keempat di dunia pada 2022.
Sepanjang tahun ini saja, di Riau, telah terdapat 10 kasus pembalakan ilegal yang ditangani oleh kepolisian setempat.
Dengan masih tingginya tingkat emisi karbon dan penurunan luas kawasan hutan, sudahkah kita berada di jalan yang tepat mencapai penyerapan emisi bersih pada 2030?
Mencapai penyerapan karbon bersih sejatinya bukan hanya soal menghentikan deforestasi dan emisi, namun juga menemukan alternatif menciptakan perekonomian yang lebih ramah lingkungan.
Dengan prinsip transisi ini, FOLU Net Sink 2030 merupakan visi yang sesungguhnya dapat diwujudkan.
Kesiapan fasilitas energi bersih dibutuhkan agar implementasi pasar dan pajak karbon efektif mendorong transisi menuju perekonomian berkelanjutan.
Tanpa kesediaan infrastruktur tersebut, perekonomian akan tetap melanjutkan aktivitas intensif karbon meski biaya yang ditanggung menjadi lebih besar.
Oleh karena itu, kebijakan subsidi energi bersih harus menjadi bagian sentral dalam reformasi sistem energi nasional. Insentif keuangan dapat menjadi faktor kuat menarik investor domestik dan global untuk membangun pembangkit EBT di Indonesia.
Kebijakan ini serupa dengan Pemerintah Tiongkok, yang pada tahun lalu, mengeluarkan dana sebesar 3,87 miliar yuan (Rp 8,2 triliun) sebagai subsidi pembangunan pembangkit listrik bertenaga angin, surya, dan biomassa.
Hasilnya, kapasitas EBT di negara tirai bambu berhasil meningkat tajam sebesar 14 persen pada 2022.
Kebijakan moratorium perizinan, yang hanya melindungi kawasan hutan primer dan lahan gambut, juga harus ditinjau kembali.
Perluasan cakupan dibutuhkan untuk turut melindungi kawasan hutan sekunder yang kini tersisa 35 juta hektare.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya