KOMPAS.com – Salah seorang korban kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Nur Fajri, menceritakan sejumlah praktik sindikat internasional yang menyiksanya bekerja paksa di luar negeri.
Fajri yang berasal dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) berhasil diselamatkan oleh Pemerintah Indonesia dan dipulangkan ke rumahnya.
Dia bercerita, awalnya dia mendapat informasi dan tawaran pekerjaan ke luar negeri, yakni Myanmar. Dari situ, dia merasa tertarik.
Baca juga: Serius Tangani TPPO, Kapolda Sulbar Resmikan Rumah Perlindungan Ibu dan Anak
“Saya ditawari pekerjaan, ada tes komputer dan bahasa inggris. Saya dinyatakan lulus, dan ditanggung biaya pesawat sampai di Myanmar, tapi belum ketemu orangnya,” ungkap Fajri di Makassar, Kamis (5/10/2023), sebagaimana dilansir Antara.
Fajri pun bertolak dari Makassar menuju Jakarta, hingga akhirnya tiba Myammar pada Desember 2022.
Sesampainya di sebuah hotel di negara tersebut, Fajri mendapat penempatan kerja di perbatasan Myamnar-Thailand, yakni di Mae Sot. Dia langsung merasa ada yang tidak beres.
Dia ingat betul bahwa saat itu, setelah mendapat penempatan di perbatasan, ada kendaraan yang menjemputnya dan membawanya ke arah hutan.
Dalam perjalanan, dia melewati tiga pos. Setiap posnya dijaga orang-orang yang menenteng senjata api. Ketika tiba di lokasi, dia dijemput tiga orang bersenjata api laras panjang.
Fajri kaget. Dia merasa ada di negeri antah berantah. Di sana dia disuruh masuk ke dalam asrama dengan banyak orang di dalamnya.
Baca juga: Tekan Kasus TPPO, Bakamla Tambah Kapal Patroli Tercepat di Indonesia
“Sepertinya base camp layaknya mafia. Ruangan sudah ditempatkan dan saya diberikan komputer, saya mulai curiga karena tugas saya costumer service, tapi malah jadi scammer (penipu),” ungkap dia.
Kawasan tersebut dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata api. Dia tak bisa keluar. Mau tak mau, Fajri terpaksa bekerja di sana menjadi penipu di situs biro jodoh palsu milik sindikat tersebut.
“Nama akun saya itu Vanila, fotonya cewek Korea. Diberi user untuk masuk di situs biro jodoh, di situ saya disuruh bermain dan mengambil nomor-nomor calon korban,” jelasnya.
“Tapi bukan saya (yang) eksekusi, ada tim lain. Sudah ada bank data telpon, mereka tinggal menghubungi korbannya. Ada yang merasa nyaman kerja di situ, ada pula tidak, makanya disiksa kalau tidak dapat (korban),” sambungnya.
Rupanya, dia bukan satu-satunya orang Indonesia di sana. Fajri melihat beberapa saudara setanah air, termasuk orang-orang dari negara lain yang kondisinya sama seperti dirinya, terpaksa bekerja.
Selama berada di lokasi tersebut, Fajri mengaku tak diberi makan dengan laik. Para pekerja yang direkrut wajib menguasai komputer beserta perangkat jaringannya.
Baca juga: Waspada, Iklan Media Sosial Jadi Cara Baru Jerat Korban TPPO
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya