"Kami tentunya siap bersama pemerintah untuk membenahi pertimahan nasional kita. Harus ada standar-standar yang dipenuhi," ucap Jabin.
Saat ini AETI memiliki sebanyak 20 anggota dari berbagai Perusahaan Timah di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan bertambah lagi.
Sejatinya, aktivitas tambang ilegal masih marak terjadi di berbagai lokasi di Kepulauan Babel. Pantauan Kompas.com, tambang ilegal tidak hanya di darat, tapi juga di lautan.
Lokasinya tersebar seperti di Pantai Batu Atap, Tanjung Gunung, Pantai Tembelok dan Keranggan.
Para penambang tersebut bekerja kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Saat aparat melakukan patroli, penambang akan langsung membubarkan diri. Mereka kerap beraktivitas lagi saat kondisi dinilai sudah "aman".
Selain faktor keamanan, penambangan di laut juga terpaksa berhenti karena faktor cuaca. Sehingga bisa ditemukan lokasi-lokasi yang dulunya marak penambangan, kemudian kosong ditinggalkan penambang karena cuaca tidak mendukung.
Baca juga: Ada Tanggung Jawab Lingkungan, RKAB Sektor Tambang Diharapkan Lebih Selektif
Setelah cuaca atau musim laut tenang tiba, para penambang yang menggunakan ponton apung akan kembali beroperasi.
Kepala Dinas Energi Sumberdaya dan Mineral (ESDM) Babel Amir Syahbana mengungkapkan, wilayah laut seperti di Tembelok dan Keranggan, Mentok, Bangka Barat sama sekali tidak memiliki IUP.
Sehingga bisa dipastikan setiap aktivitas tambang di kawasan itu berstatus ilegal dan liar.
Guna menampung penambangan rakyat, kata Amir, pemerintah provinsi sudah mengajukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Mekanisme WPR tersebut sudah mendapatkan persetujuan prinsip dari Kementerian ESDM. Namun, pelaksanaan teknis di lapangan masih digodok.
"WPR mencakup wilayah tambang di darat, kalau laut atau lepas pantai tidak termasuk," ujar Amir.
Kepala Satuan Polisi Perairan Polres Bangka Barat Iptu Yudi Lasmono menegaskan, upaya penertiban terhadap tambang ilegal terus dilakukan.
Baru-baru ini polisi mengamankan sebanyak 15 unit ponton. Dari jumlah tersebut, 12 unit diamankan di depan Mako Polair yang terdiri dari sembilan unit berada di laut depan Mako, sementara tiga unit di samping Mako Polair akibat terpaan ombak dan badai.
Selain itu, tiga unit ponton lainnya berhasil disita di tengah perairan laut Tanjung depan Mako Polair.
"Semua barang bukti dalam keadaan lengkap dan kita amankan," ujar Yudi.
Baca juga: Polemik Tambang dalam Kawasan Hutan Lindung
Dia menuturkan, penyitaan merupakan upaya penegakan hukum dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perairan.
Ponton-ponton tersebut dijadikan barang bukti sebagai bagian dari proses hukum yang akan dilakukan Sat Polairud Polres Bangka Barat.
Proses penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan untuk mengungkap asal-usul dan kepemilikan ponton-ponton tersebut.
Sat Polairud akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait guna memastikan tindakan hukum yang tepat sesuai dengan ketentuan berlaku.
Di sisi lain, pihak Polres Bangka Barat membantah informasi terkait permintaan tebusan terhadap ponton yang telah diamankan.
Informasi tersebut mengungkapkan, sebanyak 60 unit ponton selam ditarik personel Polairud Polres Bangka Barat dalam razia di perairan Belo Laut Kecamatan Mentok, Selasa (14/11/2023) pukul 10.15 WIB.
Puluhan ponton selam itu diamankan saat melakukan aktifitas penambangan pasir timah yang tidak dilengkapi dokumen perizinan.
Para penambang mengaku dimintai uang tebusan Rp 10 juta-Rp 20 juta per ponton oleh oknum Polairud Polres.
Kapolres Bangka Barat AKBP Ade Zamrah dengan tegas membantah pemberitaan tersebut. Dia juga meminta wartawan dari media yang bersangkutan membuktikan apa yang telah diberitakan.
Baca juga: Sedotan Purun Belitung, dari Lahan Bekas Tambang ke Panggung Dunia
"Kalau benar ada anggota saya yang minta-minta uang, tolong dibuktikan. Saya akan tindak anggota itu. Tapi kalau tidak benar, wartawan media itu harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah diberitakan," tegas Ade dalam keterangan yang dirilis Humas Polres.
Ade Zamrah juga meminta pihak yang bersangkutan menunjukkan bukti-bukti, jika ada anggota Satuan Polairud Polres Bangka Barat meminta uang tebusan untuk melepaskan ponton TI Apung dari proses hukum.
"Jangan asal membuat berita tanpa fakta, jangan membuat gaduh. Buktikan kalau memang ada anggota yang minta-minta uang, saya pastikan akan diproses," cetus dia.
Kasat Poliarud Polres Bangka Barat IPTU Yudi Lasmono juga telah menyangkal semua tuduhan tersebut.
"Tadi Polairud melakukan penertiban, dan sekarang yang diamankan diproses di mako Polairud berikut ponton-ponton ditarik. Tidak benar itu, semua yang diamankan saat ini sedang menjalani pemeriksaan sesuai prosedur," sangkal Yudi.
Praktik tambang timah ilegal memang telah berulangkali terjadi. Tidak hanya di kawasan yang belum ada pemiliknya, tambang ilegal juga menyasar IUP milik perusahaan negara.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 24 Agustus 2021, wilayah konsesi perusahaan PT Timah Tbk dijarah penambang tanpa izin, tepatnya di Dusun Bedukang, Desa Deniang, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.
Petugas gabungan yang melakukan penggerebekan berhasil mengamankan ratusan kilogram pasir timah dan sejumlah alat berat.
"Wilayah konsesi kembali ditambang tanpa izin, karena itu dilakukan operasi penertiban dan pembongkaran. Sebelum giat dilaksanakan, tim telah melakukan komunikasi persuasif," kata Kepala Bidang Komunikasi PT Timah Tbk Anggi Siahaan.
Baca juga: Semen Baturaja Reklamasi Lahan Pasca Tambang untuk Budidaya Lebah Trigona
Dalam operasi tersebut tim menemukan tiga unit eksavator, 21 kampil pasir timah dengan berat 801 kilogram dan satu unit alat tambang darat. Harga pasir timah yang diamankan mencapai Rp 160,2 juta dengan estimasi Rp 200.000 per kilogram.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya