Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/12/2023, 07:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Penetrasi energi terbarukan variabel atau variable renewable energy (VRE) yang besar akan membuat konsep pembangkit baseload yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan.

VRE mengacu pada pembangkit energi terbarukan dengan sumber yang intermitten seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Hal tersebut disampaikan Analis Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR) Pintoko Aji dalam media briefing peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang diikuti secara daring pada Selasa (12/12/2023).

Baca juga: SMI Guyur Alam Energy Rp 41 Miliar Kembangkan Instalasi PLTS Industri

Dia berujar, untuk meningkatkan penetrasi VRE, ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif.

“Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE,” ujarnya.

Untuk melakukannya, kata Pintoko, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual.

“Misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas,” tuturnya.

Baca juga: Investasi Hijau-PLN Icon Plus Bangun PLTS Atap Berkapasitas 3.5 MWp

Di satu sisi, tren pembangunan energi terbarukan di Indonesia cenderung melambat. Pada kuartal keempat 2023, pembangunannya hanya mencapai 0,97 gigawatt (GW) dari target 3,4 GW.

IESR menilai, jika perlambatan berlanjut, Indonesia tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi dari sektor daya saat sedangkan emisi sektor permintaan terus naik.

Langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, IETO merupakan studi tahunan dari lembaga think tank tersebut untuk memantau perkembangan sekaligus memproyeksikan transisi energi di Indonesia.

Baca juga: Fase Pertama PLTS IKN Beroperasi Februari Tahun Depan

IETO kali ini, kata Fabby, lebih lengkap daripada versi-versi sebelumnya.

Pasalnya, dalam IETO 2024, IESR tak hanya mengukur perkembangan transisi energi dari ketenagalistrikan, melainkan di sektor lain yakni industri, transportasi, dan bangunan.

Menurutnya, Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional.

Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi.

Baca juga: EMI dan Sojitz Kerjasama Tingkatkan Penetrasi PLTS Atap di Indonesia

“Juga kajian terhadap kondisi enabling conditions dalam menentukan sukses tidaknya transisi energi,” ucap Fabby.

Dia berujar, dibutuhkan empat faktor enabling conditions untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia.

Keempat faktor tersebut adalah kerangka kebijakan atau regulasi, dukungan pendanaan serta investasi, aplikasi teknologi, dan dukungan masyarakat.

Baca juga: Setelah Cirata, PLTS Terapung Bakal Dikembangkan di Lokasi Lain

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau